PELAKSANAAN pesta demokrasi di Indonesia terbilang mengalami kemajuan. Gebrakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang diatur lewat Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 dan diagendakan secara nasional pada 2024, patut diapresiasi.
Banyak upaya perbaikan yang dilakukan. Di antara upaya tersebut adalah menimbang kembali apakah pilkada sebaiknya tetap bersifat langsung oleh rakyat seperti sekarang atau dikembalikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Opsi kedua itu diwacanakan oleh Ketua DPR Bambang Soesatyo. Menurut dia, seperti muncul di pemberitaan pada Selasa (10/4/2018), pilihan tersebut diusulkan juga oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bagaimana menelaah dan menyikapi perkembangan wacana ini?
Sudut pandang konstitusi
Secara konstitusional tidak ada persoalan mengembalikan pilkada kepada DPRD. Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) tidak ada ketentuan yang mengharuskan pilkada langsung oleh rakyat seperti pada pada pemilihan presiden (pilpres).
Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 memang menyebutkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Adapun untuk kepala daerah, Pasal 18 ayat (4) hanya menyebutkan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
Artinya, tidak ada larangan konstitusional bagi pilkada dilakukan melalui DPRD. Terlebih lagi, pemilihan melalui perwakilan juga merupakan salah satu bentuk demokrasi.
Sila ke-4 Pancasila mencantumkan pula frasa permusyawaratan perwakilan. Bahkan, mekanisme pemilihan lewat perwakilan sudah memiliki sejarah panjang khususnya di negara-negara republik.
Perspektif demokrat dan republik
Dalam ideologi politik, ada perbedaan soal keterlibatan rakyat antara sistem demokratis dan republikan. Namun, selama mengartikan demokrasi—seperti Abraham Lincoln—sebagai pemerintahan “of the people, by the people, for the people” maka kedua sistem masih bagian dari demokrasi.
Perbedaan di antara kedua sistem itu, bentuk demokratis mengandaikan semuanya melalui pemilihan langsung sedangkan republik tidak selalu begitu.
Konstitusi Amerika tahun 1787, misalnya, semangat pembentukannya bukan dalam kerangka demokratis tapi republikan. Dalam upaya melepaskan diri dari Inggris, Amerika ketika itu merujuk ke John Locke yang berhaluan republik.
Locke berupaya membangun pemerintahan yang konstitusional tapi tanpa sepenuhnya mengubah tatanan masyarakat yang ada. Ia menawarkan demokrasi yang bukan dalam arti semua dipilih langsung oleh rakyat, melainkan ada keterwakilan rakyat dari tiap kalangan—kerajaan, bangsawan, dan rakyat biasa.
Republik di sini serupa dengan Konstitusi Romawi kuno yang merupakan campuran antara pemerintahan monarki (satu orang), aristokrasi (beberapa orang), dan demokrasi (banyak orang).
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.