JAKARTA, KOMPAS.com - Deputi Pemberantasan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Firman Santyabudi mengatakan, PPATK mendapat 52 laporan transaksi keuangan mencurigakan terkait pemilihan kepala daerah (pilkada).
Sumber laporan tersebut dari perusahaan asuransi, bank umum, bank pembangunan daerah, hingga money changer.
"Dari 52 laporan itu, terdapat 12 pihak terlapor melibatkan penyelenggara dan kontestan," ujar Firman di PTIK, Kamis (5/4/2018).
Transaksi dianggap mencurigakan, salah satunya dengan melihat profil seseorang. Misalnya, pendapatan seseorang hanya Rp 200 juta, namun tiba-tiba masuk ke rekeningnya Rp 200 juta.
Meski begitu, tidak semua laporan transaksi mencurigakan menunjukkan bahwa ada pidana di baliknya. Bisa saja rekeningnya diisi uang dengan jumlah besar hasil menjual rumah.
(Baca juga: Antisipasi Pelanggaran, PPATK Awasi Aliran Dana di Rekening Peserta Pilkada)
Oleh karena itu, setiap laporan transaksi mencurigakan yang masuk akan didalami lagi oleh PPATK untuk melihat keterkaitan dengan pilkada.
"Kami juga liat informasi lain apakah betul mengarah ke sana. Ini masih harus ada analisis lebih lanjut," kata Firman.
Firman mengatakan, PPATK juga melihat hampir seluruh calon dari petahana menarik tunai uang di rekeningnya mulai setahun terakhir sebelum masa jabatannya berakhir. Jumlahnya mencapai triliunan rupiah.
Menurut dia, muncul kecurigaan mereka menarik dana bukan di saat-saat ini agar tidak tampak mencurigakan. PPATK kemudian mencari data untuk bukti yang menguatkan apakah uang yang ditarik itu berhubungan dengan pilkada, misalnya untuk kampanye.
"Kalau ada potensinya, nanti kami dorong ke aparat penegak hukum. Kalau kental dengan korupsi, kami akan dorong ke KPK. Kalau pelanggaran pemilu kita dorong ke Bawaslu," kata Firman.
(Baca juga: Mahfud MD: Tak Ada Satu Pilkada pun yang Tidak Curang...)
Firman meminta para calon kepala daerah yang akan berlaga dalam Pilkada 2018 tidak bermain curang dengan uang. Sebab, PPATK bisa dengan mudah melacak transaksi keuangan mereka dan akan ketahuan jika ada kejanggalan.
"Walau biaya politik tinggi, namun kami harap tidak mempengaruhi peserta pemilu untuk tidak melakukan pelanggaran kampanye. Bukan banyak banyak cari uang," kata Firman.