JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengungkapkan, revisi Undang-Undang Anti-terorisme tak kunjung diketok palu karena lama membahas soal pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme.
Hal itu dikatakan Arsul di Kantor Imparsial, Jakarta, Kamis (29/3/2018).
"Peran TNI dalam pemberantasan terorisme ini salah satu penyebab pembahasan RUU ini jadi lama," kata Arsul.
Padahal, menurut Arsul, jika dibandingkan dengan Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), jumlah pasal yang direvisi dalam RUU Anti-terorisme tak terlalu banyak.
Baca juga : Pelibatan TNI dalam Berantas Terorisme Tetap Perlu Persetujuan DPR
"RUU Anti-terorisme kalau dihitung jumlah pasal yang direvisi hanya 20-an. Jadi ya hanya satu yang mengganjal (pelibatan TNI). Ini masalah yang cukup menyita waktu," kata Arsul.
Ia mengatakan, sikap pemerintah yang tak satu suara soal pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme juga menjadi penyebab lamanya pembaahasan.
"Kalau DPR enggak satu suara, biasa. Karena ini dalam Pansus kan ada anggota Komisi III dan Komisi I. Tentu secara personal pasti kedekatannya berbeda, Komisi III dekat dengan Polisi, Komisi I dengan TNI," ujar dia.
Pembahasan RUU Anti-terorisme semakin lama juga karena adanya penolakan dari elemen masyarakat sipil.
Baca juga : Komisi I Nilai Pasal Pelibatan TNI dalam RUU Anti-Terorisme Sudah Proporsional
Meski demikian, saat ini materi soal pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme telah tuntas dibahas dan disepakati.
Pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme mengacu pada kerangka UU Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang TNI (UU TNI).
"Akhirnya pelibatan TNI itu dikembalikan lagi ke UU TNI," kata Arsul.
Oleh karena itu, Arsul berharap, RUU Anti-terorisme bisa disahkan pada akhir masa sidang IV tahun 2017-2018.