JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Irfan Abubakar mengungkapkan, ada dua strategi yang bisa dilakukan dalam memerangi ujaran kebencian dan hoaks, yakni penindakan hukum yang berimbang dan peranan masyarakat sipil jelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
"Pertama, penanganan ujaran kebencian melibatkan aparat penegak hukum karena mereka sebagai pihak netral dalam konteks pertarungan politik. Polri harus adil dan berimbang dalam penindakan hukumnya," kata Irfan, dalam diskusi di Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu (28/3/2018).
Hal itu dilakukan untuk menghindari persepsi negatif publik bahwa kepolisian tebang pilih dalam menindak pelaku penyebaran ujaran kebencian dan hoaks.
Baca juga : Ketik BFF untuk Cek Keamanan di Facebook, Hoaks atau Fakta?
"Terkadang, ada persepsi 'Kenapa kok giliran pendukung Jokowi yang melakukan ujaran kebencian enggak diproses, kenapa giliran pihak lawan yang cepet-cepet diproses?'" ujar Irfan.
Dengan demikian, Irfan berharap agar pelaku ujaran kebencian harus diperlakukan sama jika ditindak oleh aparat hukum.
Di sisi lain, Irfan juga menekankan pentingnya peranan kalangan masyarakat sipil.
Ia mencontohkan, peranan organisasi masyarakat keagamaan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang mampu melakukan perlawanan terhadap narasi-narasi kebencian yang bisa menimbulkan polarisasi di masyarakat.
"Apa yang ingin saya katakan adalah kalangan moderat bisa menghindari polarisasi. Indonesia diuntungkan dengan pluratias keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, dan organisasi variasi lainnya," kata Irfan.
Baca juga : Anies dan Jokowi Sudah Rukun, Jangan Ribut, Jangan Nge-share Hoaks Lagi... Baca juga : Anies dan Jokowi Sudah Rukun, Jangan Ribut, Jangan Nge-share Hoaks Lagi...
Irfan mengingatkan, kontestasi politik melibatkan pertarungan perebutan kekuasaan sekaligus penyebaran wacana tertentu yang tak hanya melibatkan segelintir elit politik, tetapi juga masyarakat di akar rumput.
Oleh karena itu, seluruh pihak, baik masyarakat, akademisi, tokoh agama, tokoh masyarakat, hingga media massa harus mewaspadai mobilisasi politik menggunakan kesamaan identitas agama, suku, ras dan antar golongan yang menciptakan polarisasi.
Irfan optimistis jika pluralitas yang dimiliki oleh Indonesia bisa dimanfaatkan dengan baik, maka berbagai pernyataan yang menimbulkan polarisasi bisa dicegah.
"Jadi harusnya dengan setting plural kita, agak susah untuk memprovokasi masyarakat untuk kemudian menciptakan satu pengkubuan yang tajam," kata dia.