JAKARTA, KOMPAS.com — Indonesia Corruption Watch (ICW) mendukung terobosan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus yang melibatkan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam.
Dalam kasus itu, KPK menggunakan dampak kerusakan alam sebagai kerugian negara.
"Perkara ini diharapkan membawa terobosan hukum dalam hal metode penghitungan kerugian negara, di mana tidak hanya kerugian materiil dari korupsi, tetapi juga kerugian ekologis, biaya pemulihan lingkungan, dan kerugian ekonomi lingkungan," ujar peneliti ICW, Lalola Easter, dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (27/3/2018).
(Baca juga: Kerusakan Lingkungan dan Tuntutan 18 Tahun Penjara terhadap Nur Alam)
Dalam persidangan, jaksa menilai, perbuatan Nur Alam telah merugikan keuangan negara Rp 4,3 triliun.
Namun, angka tersebut tidak sepenuhnya atas hasil penghitungan auditor negara. Sebab, salah satu yang dihitung adalah kerugian akibat kerusakan lingkungan.
Jaksa menilai, perbuatan Nur Alam telah mengakibatkan musnahnya atau berkurangnya ekologis/lingkungan pada lokasi tambang di Pulau Kabena yang dikelola PT Anugrah Harisma Barakah.
Pengajar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Basuki Wasis, menghitung adanya kerugian negara Rp 2,7 triliun akibat kegiatan pertambangan nikel yang dilakukan PT Anugrah Harisma Barakah di Pulau Kabaena.
(Baca juga: Dituntut 18 Tahun Penjara, Nur Alam Sebut Dirinya Bukan Penjajah)
Dari hasil penelitian, terdapat tiga jenis penghitungan kerugian akibat kerusakan lingkungan. Pertama, total kerugian akibat kerusakan ekologis. Kemudian, kerugian ekonomi lingkungan. Ketiga, menghitung biaya pemulihan lingkungan.
Atas hal itu, Nur Alam dituntut hukuman 18 tahun penjara oleh jaksa. Dia juga dituntut membayar denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan.
Tidak cuma itu, politisi Partai Amanat Nasional itu juga dituntut membayar uang pengganti Rp 2,7 miliar dari keuntungan yang diperoleh dari izin pertambangan yang diberikan Nur Alam kepada pengusaha.
"Menurut ICW, sudah sepatutnya Nur Alam dituntut dan divonis hakim secara maksimal, yaitu penjara seumur hidup," kata Lalola.
(Baca juga: Tuntutan KPK untuk Gubernur Sultra Tertinggi di Antara Perkara-perkara Kepala Daerah)
ICW berharap, majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjadikan metode penghitungan kerugian negara yang didalilkan jaksa dengan menambahkan kerugian ekologis, biaya pemulihan lingkungan, dan kerugian ekonomi lingkungan sebagai rujukan dalam pengambilan putusan.
Hal ini dinilai penting sebagai terobosan hukum yang akan menjerakan dan memiskinan pelaku korupsi.
"Kerugian negara tersebut harus ditanggung bersama antara Nur Alam dan pihak korporasi yang diuntungkan akibat penerbitan IUP yang dinilai bermasalah," kata Lalola.