JAKARTA, KOMPAS.com - Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengatakan, selain pasangan calon dan tim suksesnya, penyelenggara pemilu juga berpotensi melakukan pelanggaran saat kontestasi politik berjalan.
Biasanya permainan itu terjadi di tingkat bawah karena penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan merupakan badan ad hoc. Tidak seperti di tingkat pusat yang merupakan pejabat negara.
"Kalau yang permanen aneh-aneh, sanksinya jelas. Dan bila perlu proses pecat segala macem," kata Tito di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (27/3/2018).
(Baca juga: Megawati Sindir Penyelenggara Pemilu yang Dianggap Kurang Netral)
Hal ini berbeda dengan penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan. Ia menyampaikan pengalamannya saat menjadi Kapolda Papua.
Menjadi penyelenggara pemilu di sana, oleh sejumlah orang, menjadi hal yang ditunggu-tunggu karena bisa meraup keuntungan. Godaannya untuk dipengaruhi pasangan calon maupun tim sukses sangat tinggi.
"Semua kontestan berusaha mendekati penyelenggara sehingga netralitas penyelenggara tidak gampang," kata Tito.
(Baca juga: Catatan untuk Penyelenggara Pemilu Jelang Pilkada Serentak 2018)
Tito mengatakan, jika KPU atau Bawaslu di tingkat pusat dapat menjalankan undang-undang dan menjaga netralitas, belum tentu di daerah. Pola pikir itu tidak selalu sama.
Polri pun membuat nota kesepahaman dengan KPU untuk bekerja netral dan mampu melaksanakan tugas dengan dukungan Polri.
Ia menekankan, suksesnya Pilkada ditentukan dari pengawas pemilu. Mereka harus jadi hakim yang netral.
"Pengalaman saya di Papua, para calon sudah naruh orangnya dia, ini," kata Tito.