JAKARTA, KOMPAS.com - Sejak Kamis (15/3/2018), Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) resmi berlaku meski Presiden Joko Widodo tidak menggoreskan tanda tangannya dalam aturan tersebut.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, penolakan UU MD3 oleh Presiden Jokowi merupakan preseden tidak baik. Ada koordinasi yang tidak berjalan di dalam pemerintahan.
"UU MD3 ini suatu bukti bahwa kurangnya koordinasi antara Menkumham dengan Presiden," ujarnya kepada Kompas.com, Jakarta, Jumat (16/3/2018).
(Baca juga: Yasonna: Kalian Tidak Perlu Tahu, Dinamika Pembahasan UU MD3 Alot)
Abdul mengkritik Menkumham Yasonna Yasonna Laoly yang menyetujui UU MD3 disahkan DPR dalam rapat paripurna DPR pada Februari 2018 lalu. Padahal saat itu ia belum berkonsultasi dengan Presiden.
Menurut Abdul, terlepas dari komunikasi yang tidak berjalan, Menkumham sebagai wakil pemerintah, tetap saja punya andil menyetujui UU MD3 disahkan DPR.
"Ini harus menjadi pelajaran ke depan agar Presiden tidak mengangkat menteri yang sok tahu karena justru akan menyulitkan di kemudian hari," kata dia.
Kini harapan untuk mengugurkan beberapa pasal kontroversial di UU MD3 disandarkan di pundak Mahkamah Konstitusi (MK).
Meski tak dipungkiri ada pesimisme MK akan mengabulkan gugatan UU MD3, namun tutur Abdul, publik rakyat harus menempuh jalan tersebut sebagai penghormatan kepada proses hukum.
(Baca juga: Menkumham Yakin RKUHP Tak Bernasib seperti UU MD3 yang Tak Ditandatangani Jokowi)
Sejak awal UU MD3 disahkan, beberapa koalisi masyarakat sipil pesimis MK akan mengabulkan gugatan UU tersebut. Hal itu dilatarbelakangi pertemuan antara Ketua MK Arief Hidayat dengan DPR dalam proses seleksi menjadi calon Ketua MK beberapa waktu lalu.
Pertemuan antara Arief dengan sejumlah Anggota Komisi III DPR pada akhir tahun lalu berbuntut panjang. Arief dinyatakan melanggar kode etik MK dan mendapatkan teguran dari Dewan Etik MK.
Meski begitu beberapa pihak tetap mengajukan gugatan UU MD3 ke MK meski saat itu belum ada nomor resmi.
Mereka yang menggugat UU tersebut yakni Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan dua orang perseorangan atas nama Zico Leonard Djagardo Sumanjuntak dan Josua Satria Collins.