JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri mengatakan, disahkannya Undang-undang MD3 akan semakin mempertebal imunitas anggota dewan. Hal ini membuat mereka jauh dari kritik dan terkesan berjarak dengan rakyat.
"Ini sinyal bahwa relasi atau jarak DPR dengan rakyat atau konstituen makin berjarak," ujar Ronald dalam diskusi di Jakarta, Kamis (15/3/2017).
(Baca juga: UU MD3 Diberlakukan, Polri Persiapkan Perkap untuk Panggil Paksa)
Revisi undang-undang MD3 dari masa ke masa mengalami perluasan tanpa diimbangi mekanisme pengujian hak imunitas. Di sisi lain, pasal-pasal yang membungkam rakyat untuk mengkritik anggota dewan juga dianggap menurunkan demokrasi.
"Sehingga tidak ada yang memantau dan mengingatkan," kata Ronald.
Kalaupun nantinya diatur tata tertib di DPR dalam pelaksanaan UU MD3, kata Ronald, langkah tersebut juga riskan. Sebab, tak ada pihak yang mengawasi menyusunan tata tersebut.
Ia mengatakan, hanya anggota dewan yang menentukan lebih lanjut bagaimana MKD memproses pihak yang menghina DPR.
"Riskannya, tidak tahu ukuran atau kriteria bagaimana itu merendahkan martabat DPR dan menghina," kata Ronald.
(Baca juga: Apa Perlu Bikin #ShameOnYouJokowi untuk Desak Perppu MD3?)
Pasal-pasal dalam UU MD3 yang menuai polemik lantaran dinilai mengancam kebebasan berpendapat dan demokrasi, yakni Pasal 73 yang mengatur tentang menghadirkan seseorang dalam rapat di DPR atas bantuan aparat kepolisian.
Ada juga Pasal 245 yang mengatur angota DPR tidak bisa dipanggil aparat hukum jika belum mendapat izin dari MKD dan izin tertulis dari Presiden.
Terakhir, yakni Pasal 122 huruf k yang mengatur kewenangan MKD menyeret siapa saja ke ranah hukum jika melakukan perbuatan yang patut diduga merendahkan martabat DPR dan anggota DPR.