SETAHUN lalu saya dengan gelisah menulis tentang sepinya kabar pemilihan kepala daerah di luar Jakarta.
Hura-hura dan huru-hara kontestasi politik di Jakarta yang lantas dipersepsikan adalah cermin politik Indonesia, dalam hal ini seolah menjadi indikator awal bagaimana Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019.
Alhasil, tidak banyak pihak yang peduli pada fakta bahwa pemenang kontestasi politik dalam Pilkada 2017 di 101 daerah, yang terdiri atas tujuh provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota tersebut, adalah Partai Golongan Karya (Golkar), partai yang dicibir identik dengan zaman Orde Baru.
Partai Golkar sejatinya lahir sebagai konsekuensi akibat keberhasilan Gerakan 1998. Sejak awal sejarahnya, Golkar tidak pernah menyebut dirinya sebagai partai. Golkar lahir atas restu rezim Orde Baru terhadap jejaring Sekretaris Bersama Golkar (Sekber Golkar).
Keberhasilan Soeharto menjadi Presiden RI dan kemudian sangat dipengaruhi orang-orang di belakang pembentukan Sekber Golkar yang terinspirasi dengan ide-ide negara korporatis membuat Golkar menjadi mesin pendukung kekuasaan.
Pada negara korporatis, pembagian wewenang antara negara dan masyarakat tidak dijalankan. Negaralah yang mengatur dan sekaligus mengawasi masyarakat. Meski demikian, salah besar jika menyebut rezim Orde Baru adalah negara korporatis sejati atau bahkan negara otoritarian.
Rezim Orde Baru tetap menggelar pesta demokrasi. Pemilu setiap lima tahun tetap diselenggarakan. Setiap lima tahun, rakyat dipersilahkan menggunakan hak politiknya.
Namun, soal siapa pemenangnya, sudah bisa dipastikan: Golkar. Pemilu ini sekaligus memastikan selalu menunjuk Soeharto, yang tak lain adalah Ketua Dewan Pembina Golkar, sebagai Presiden RI.
Sebagai kelompok yang berjalan seiring dengan rezim Orde Baru, Golkar bersama dua partai lain, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), kokoh bertahan dalam ingatan massa.
Tidak heran meski badai berkali menerpa, maupun hadirnya banyak partai baru. Angka keterpilihan Golkar, meski dibebani citra sebagai partai milik Orba di awal reformasi tetaplah stabil. Meski tidak menjadi pemenang, pemilihnya rupanya tetap ada dan termasuk tidak sedikit.
Bahkan, hanya butuh satu periode kepresidenan saja bagi Golkar untuk kembali menjadi rebutan politisi. Bagai kendaraan politik, singkatnya Golkar kendaraan yang sudah teruji dengan layanan purnajual dan servis di mana-mana.
Jika kita belum lupa pada 2004, konvensi calon presiden yang digelar Golkar dijejali banyak tokoh. Tak kurang dari 19 calon capres mengadu nasib, antara lain para mantan tentara seperti Wiranto, Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Agum Gumelar.
Adapun dari kalangan pebisnis muncul Aburizal Bakrie dan Surya Paloh, sedangkan dari kalangan sipil-perguruan tinggi terdapat Akbar Tandjung dan Nurcholish Madjid. Bahkan Sri Sultan HB X yang sudah berstatus Raja pun ikut serta.
Uniknya, meski tersingkir dari konvensi lalu memilih membuat kendaraan sendiri dan berhasil menjadi Presiden RI, SBY tetap merasa perlu menyertakan Golkar dalam kabinetnya, serupa dengan yang dilakukan oleh dua presiden pendahulunya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri.
Otda dan Golkar