Jawabannya sederhana, yakni hilangnya kepercayaan kepada politisi. Masyarakat berpikir, "Untuk apa aku dukung seorang calon dengan sungguh-sungguh toh dia belum tentu akan memperjuangankan nasibku, maka lebih baik aku ambil uangnya selagi bisa."
Studi terkini menunjukkan bahwa pemilih kita semakin pragmatis bahkan hingga level pemilihan kepala desa. Pragmatisme dan musnahnya kepercayaan yang akut itu membuat mereka berprinsip, "Ambil saja uangnya, namun jangan coblos orangnya."
Biaya politik tinggi ini melahirkan dampak lainnya, yaitu maraknya korupsi elite politik yang membuat mereka berakhir di hotel prodeo.
Mencermati semua uraian di atas, maka lebih dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, korupsi ataupun hancurnya kepercayaan di antara kita, bagi saya akibat oligarki yang paling mencemaskan adalah musnahnya imajinasi politik dan daya kreatif kita.
Ya, kita begitu terbiasa hidup dengan semunya itu, sehingga perlahan kita melihat semuanya sebagai normal. Kita melihat semua itu sebagai takdir yang terberi, seperti matahari yang selalu terbit dari timur dan tenggelam di barat.
Kita kehilangan imajinasi tentang bagaimana ketimpangan itu bisa dihapuskan, juga korupsi dan oligraki. Dan barangkali, kita bahkan kehilangan kepercayaan, atau sama sekali tak kepikiran, bahwa ketimpangan itu adalah konstruksi sosial, demikian juga dengan korupsi dan oligraki. Dia bukan pemberian alam seperti halnya matahari dan udara.
Kita terlalu terbiasa dengan "vote buying" dalam pemilu sehingga kehilangan imajinasi dan kepercayaan tentang adanya kemungkinan cara lain dalam memenangkan hati pemilih dan pemilu.
Kita terbiasa dengan berita korupsi, sehingga kita kehilangan imajinasi dan kepercayaan bahwa cara berpolitik yang berbeda adalah mungkin dan bisa kita lakukan.
Kita membaca kisah bayi Debora yang meninggal karena dianggap tak mampu membayar sehingga ditolak rumah sakit tanpa rasa getir.
Kita mendengar kabar 72 balita meninggal di Papua dan ratusan lainnya sakit parah karena gizi buruk sebagaimana kita baca di media belum lama ini tanpa rasa iba (Tempo, 12-18 Februari 2018).
Sama seperti halnya di lampu-lampu merah atau di stasiun-stasiun kereta, kita melihat seorang ibu yang mengemis dengan bayi di gendongnya dengan tiada lagi ada rasa bersalah.
Tanpa sama sekali terbit kesadaran ataupun sekadar pertanyaan bahwa jangan-jangan kita semua turut andil dalam mereproduksi struktur sosial yang timpang ini sehingga fakir miskin dan anak terlantar kita biarkan berjuang di atas aspal di bawah terik kota.
Di sini, ilustrasi awal saya di muka tentang kehidupan di Belanda menjadi penting. Saya tidak hendak mengatakan bahwa di Belanda semua serba indah. Negara itu punya masalahnya sendiri.
Belanda tidak sendirian. Ada negara-negara Eropa Barat lain, seperti Jerman, Norwegia dan Finlandia, di mana prinsip keadilan sosial juga diberlakukan bahkan dalam level yang baik lagi.
Namun, mereka memiliki imajinasi politik sedemikian rupa yang melahirkan sebuah kehidupan dengan keadilan ekonomi jadi pemandangan normal sehari-hari.
Ya, problem politik kita, menurut saya, adalah keringnya imajinasi dan daya kreatif para pemimpin bangsa. Sehingga, kita tak mampu keluar dari jebakan-jebakan masalah sosial yang memenjara hidup kita sehari-hari.
Akhirnya, sebagaimana dituturkan dengan indah oleh Ben Anderson (1983), sebuah bangsa lahir karena ada sekelompok manusia yang, meskipun tidak pernah bertemu satu sama lain, membayangkan diri mereka sebagai sama-sama bagian dari sebuah bangsa.
Dua ratus atau bahkan seratus tahun tahun yang lalu, saat Nusantara masih berupa kerjaan yang terpisah, ide akan sebuah bangsa bernama Indonesia adalah imaji yang tampak seperti utopia. Namun, kini sebuah bangsa bernama Indonesia telah hampir berusia tiga per empat abad.
Hari ini, imaji akan sebuah bangsa yang berkeadilan dan bebas dari oligarki, korupsi, dan ketimpangan ekonomi itu mungkin tampak seperti utopia.
Namun, jika setiap warga negara telah memulai membayangkan hal itu secara bersama-sama hari ini, maka perwujudan akan imajinasi itu hanyalah masalah waktu. Semoga anak cucu kita kelak bisa menikmatinya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.