Tidak heran jika ISEAS, sebuah lembaga riset di Singapura, pada pengujung 2017 mengungkapkan bahwa partai politik (45,8) dan DPR (55,4) merupakan lembaga yang paling tidak percaya oleh masyarakat Indonesia dari 10 institusi publik yang disurvei.
Dari sisi ekonomi, oligarki menghasilkan masalah nyata. Sebagaimana dirilis oleh berbagai lembaga riset dunia, Indonesia mengalami problem ketimpangan ekonomi yang semakin meningkat.
Pada tahun 2017, Oxfam mengungkapkan bahwa satu persen warga terkaya negeri ini menguasai hampir separuh (49 persen) kekayaan nasional.
Berikutnya, empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan yang lebih besar dari 40 persen penduduk termiskin, atau sekitar 100 juta orang.
Dalam satu hari, pendapatan dari bunga orang terkaya di Indonesia melampaui 1.000 kali belanja orang miskin untuk kebutuhan pokok selama satu tahun.
Dengan catatan itu, tidak mengherankan bila kita dinobatkan sebagai negara dengan ketimpangan ekonomi keenam tertinggi di dunia.
Sementara itu, survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, mengungkapkan temuan yang kurang lebih sama, di mana ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia.
Menurut survei itu, satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Kondisi ini hanya lebih baik dibanding Rusia, India, dan Thailand (katadata.co.id, 15 Januari 2017).
Data bank dunia pada 2015 menunjukkan bahwa Indeks Gini Indonesia pada tahun 2000-an semakin memburuk dibandingkan tahun 1990-an, di mana kini Gini Ratio kita ada di kisaran 39,0. Pada 90-an ada di angka 30,0.
Secara sederhana, kita bisa juga menyebut Indeks Gini ini sebagai indeks ketimpangan ekonomi di mana semakin tinggi ketimpangan di suatu negara, maka semakin tinggi Indeks Gini-nya.
Namun, mari kita lupakan statistik. Kita lihat kehidupan kita sehari-hari. Kita sudah terlalu terbiasa melihat ketimpangan di sekeliling kita.
Di Jakarta, kita tahu di belakang gedung-gedung megah pencakar langit di daerah Kuningan dan Thamrin adalah perumahan warga yang sederhana. Dengan gang-gang sempit, sungai yang keruh, dan permukiman tak layak huni.
Kondisi serupa atau bahkan lebih mengenaskan saya dapati ketika saya setahun tinggal di daerah Palmerah. Tak hanya sempit, kotor, dan sungai keruh, banjir pun bisa sewaktu-wkatu datang saat hujan menderas dalam waktu lama.
Bagaimana dengan Semarang? Berbicara tentang Semarang, benak saya segera melayang ke tahun 2000-2004 masa-masa kuliah saya dahulu. Pada tahun 2002 sampai dengan 2004, saya pernah tinggal di pemukiman orang miskin di Genuk Karanglo.
Pemuda di sana tiap hari nongkrong di depan indekos saya. Mereka pengangguran, berwajah preman, kadang mabuk, rambut gondrong, dan banyak tato. Namun, sebenarnya mereka baik hati. Biarpun preman, mereka sangat takut kepada ibunya.
Kini saya tahu, anak-anak muda itu hanya tidak punya pekerjaan. Pada saat itu, pikiran saya yang sempit, melihat mereka sebagai pemuda tak berguna yang malas dan enggan bekerja keras.
Kini, jika saya melihat ke belakang, yang saya lihat adalah wajah-wajah kaum marjinal yang tak tersentuh oleh tangan negara yang sibuk memperkaya kaum elitenya.
Sebagai peneliti media, saya belajar bahwa kawan-kawan saya di Genuk Kranglo itu juga tak bisa menggantungkan nasibnya kepada media.
Seiring dengan adanya krisis representasi pada isntitusi negara formal seperti partai politik dan DPR, kita juga tak bisa berharap banyak kepada media. Tak lain karena para oligarkh juga menguasai media.