JAKARTA, KOMPAS.com - Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengatakan untuk mengikuti pemilihan kepala daerah, calon bupati setidaknya harus punya modal Rp 20 miliar dan calon gubernur sekitar Rp 100 miliar.
Politik berbiaya tinggi menjadi budaya sebab modal politik pun mahal. Banyak pos anggaran yang haris dikeluarkan calon kepala daerah seperti biaya saksi, biaya kampanye, bahkan mahar politik.
Tingginya biaya politik tersebut membuat peserta pilkada mencari sumber pendanaan lain di luar pendapatannya.
"Kalau kita hitung gaji, ya enggak akan bisa mencukupi. Modalnya sudah keluar. Akhirnya yang terjadi adalah tindak pidana korupsi," ujar Tito di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara, Selasa (6/3/2018).
Selama ini, kata Tito, yang banyak terjadi adalah kepala daerah tersebut diciduk penegak hukum setelah sebulan resmi menjabat. Hal ini dikarenakan kepala daerah tersebut menggunakan APBD, uang hasil memeras, ataupun jual beli jabatan untuk membiayai ongkos politiknya. Hal tersebut yang dikritisi Tito dari sistem Pilkada langsung.
Baca juga : Mahalnya Ongkos Politik...
Namun, karena sistem ini sudah berjalan, maka langlah penegak hukum adalah pengawasan agar jangan sampai terjadi korupsi. Oleh karena itu, Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK meneken nota kesepahaman mengenai penanganan kasus korupsi yang menimpa calon kepala daerah.
"Tidak ada jalan lain selain kita mengintensifkan kegiatan-kegiatan untuk menekan jangan sampai Pilkada ini dipenuhi dengan politik penggunaan uang," kata Tito.
MoU penegak hukum
Sementara itu, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan, nota kesepahaman tersebut merupakan wujud konsistensi dan kesadaran bersama aparat penegak hukum dalam mencegah dan menangani korupsi selama Pilkada serentak.
Sebab, kata dia, para pasangan calon dan tim suksesnya cenderung menghalalkan segala cara demi memenangkan kontestasi politik. Mulai dari menyalahgunakan kekuasaan, mengumbar janji, dan hingga melakukan politik uang agar mendapat dukungan.
Baca juga : Imas Diduga Gunakan Sebagian Uang Suap untuk Biaya Kampanye Pilkada
Ia melihat, berdasarkan pengalaman selama ini, selalu ditemukan kasus politik uang dalam pelaksanaan pemilu maupun Pilkada.
"Sekarang kontestasi politik digambarkan prosesi ya.g sangat mahal. Timbul anggapan hanya calon kepala darah yang sumber keuangannya kuat yang mampu memenangi pemilihan," kata Prasetyo.
Hal tersebut, kata Prasetyo, akan memicu calon kepala daerah akan melakukan hal apapun agar biaya politiknya terpenuhi. Tren korupsi selama Pilkada, kata Prasetyo, biasanya dilakukan petahana atau mantan kepala daerah yang bertarung untuk Pilkada di tingkatan atas.
Mereka rela mengambil anggaran daerah demi mempertahankan dan meraih kembali kekuasaan yang selama ini dipegangnya.
"Ini berimplikasi ajang kontestasi Pilkada hanya sekedar melahirkan pejabat publik yg bermental koruptif. Akan mempengaruhi kualitas pemerintah yang rentan penyelewengan dan menyalahgunakan wewenang dan berpotensi merugikan keuangan negara," kata Prasetyo.