JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto mengatakan, kapal Equanimity diketahui masuk ke wilayah perairan Indonesia pada November 2017. Sebelum masuk wilayah perairan Indonesia, kapal tersebut beberapa kali mematikan Automated Identification System (AIS) agar tidak terdeteksi.
"Kapal itu seringkali mematikan AIS, semacam pemantau GPS dia," ujar Setyo di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Jumat (2/3/2018),
Nahkoda diduga mematikan sistem AIS saat melewati perairan Filipina dan perairan sebelah tenggara Singapura sehingga tidak bisa dideteksi. Saat ini, Setyo belum menerima informasi lebih lanjut soal penyelidikan terhadap penemuan kapal tersebut
"Apakah tindak lanjutnya seperti apa, akan diinfokan," kata Setyo.
Baca juga : Diburu Pemerintah AS, Kapal Pesiar Senilai Rp 3,5 Triliun Disita di Bali
Sebelumnya, Polri telah meminta keterangan sejumlah saksi, termasuk nahkoda kapal bernama Rolf terkait ditemukannya kapal Equanimity di Benoa, Bali.
Polri berkoordinasi dengan perwakilan FBI bernama Joe untuk mengetahui secara detail proses penyidikan yang dilakukan di Amerika Serikat, termasuk soal keterkaitan kapal pesiar Equanimity dengan tindak pidana yang disidik oleh FBI.
Polisi juga meminta keterangan KSOP Benoa terkait dengan dokumen administrasi pelayaran kapal pesiar tersebut, pihak PT Indonusa selaku agen yang melakukan pengurusan dokumen Kapal Pesiar, dan anak buah kapal.
Baca juga : Kapal Pesiar Mewah yang Disita di Bali Buruan FBI dalam Kasus Cuci Uang
Untuk memeriksa puluhan anak buah kapal, Polri berkoordinasi dengan pihak Imigrasi. Polri juga meminta keterangan ahli TPPU, ahli pelayaran, dan ahli forensik.
Kapal pesiar senilai 250 juta dollar AS atau sekitar Rp 3,5 triliun diamankan di Pelabuhan Benoa, Bali, Rabu (28/2/2018). Kapal tersebut diduga hasil pencucian uang korupsi di AS.
Otoritas hukum Amerika Serikat mendeteksi kapal ini masuk perairan Indonesia sejak November tahun 2017. Mereka kemudian melakukan koordinasi dengan penegak hukum Indonesia untuk melakukan penyitaan.