JAKARTA, KOMPAS.com - Terjaringnya berbagai pejabat pemerintahan baik di tingkat pusat dan daerah dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dinilai sebagai praktik nalar politik rente.
Menurut Ketua Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, politik bernalar rente merupakan politik yang dibangun oleh watak egoistik. Artinya, politisi lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok dibandingkan kepentingan umum.
Padahal, seharusnya cara berpolitik menggunakan watak altruistik, mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau kelompok.
Baca juga : Indeks Persepsi Korupsi 2017: Peringkat Indonesia di Bawah Timor Leste
Menurut Dahnil, nalar egoistik merupakan nalar ekonomi yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Namun demikian, nalar ini digunakan oleh sebagian politisi demi mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya.
"Ada masalah dengan niat dan visi. Itulah kemudian buku ini saya sebut sebagai 'Nalar Politik Rente'. Karena politik kita diwarnai politik rente," ungkap dia.
Dahnil berharap agar politik yang dijalankan oleh para elit politisi merupakan ruang pertarungan altruistik. Politisi sejatinya harus berlomba-lomba dalam kebaikan dan tak membuat kesepakatan dalam tindak kejahatan.
Di sisi lain, Dahnil menyoroti keberadaan mahar politik dalam pencalonan kandidat yang dimanfaatkan partai politik untuk memperoleh keuntungan tertentu.
Baca juga : Petahana Maju Pilkada, Ratusan Daerah Dinilai Rawan Korupsi
"Belakangan ini, jelang pemilu semua upaya dilakukan, ketika maju harus bayar mahar berapa, bohong kalau mereka enggak bayar," kata Dahnil.
Kekhawatiran akan politik rente juga bermuara pada politik dinasi di berbagai daerah. Dahnil menganggap lahirnya politik dinasti disebabkan oleh kompetisi politik yang tidak sehat. Hanya orang-orang yang memiliki modal untuk masuk ke dunia politik.
"Pasar politik kita yang oligopoli. Oligopoli ada barrier uang, Anda enggak bisa masuk sembarangan masuk pertarungan politik. Kompetisinya bukan kompetisi ide, bukan kompetisi gagasan," ujar dia.
Hal itu membuat calon politisi yang cerdas sekaligus berintegritas terkadang sulit mengakses panggung politik untuk memperjuangkan gagasannya.
"Pasar politik kita tidak memberikan ruang bagi mereka yang berkualitas tinggi," kata Dahnil.