HINGGA saat ini teras rumah kita, yakni ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna atau dikenal sebagai Flight Information Region (FIR) Natuna, masih dikelola Singapura.
Ada sejarah panjang tentang penunjukan pengelolaan ruang udara tersebut oleh International Civil Aviation Organization (ICAO).
Ketika itu, Singapura masih merupakan jajahan Inggris dan Indonesia yang masih muda belia tengah sibuk berjuang mempertahankan kemerdekaannya.
Alhasil, Indonesia absen pada sidang ICAO di Irlandia tahun 1946 dan ini berujung pada penunjukan Inggris sebagai pengelola FIR Natuna.
Saat itu, pengelolaan FIR Natuna merupakan suatu beban bagi negara, mengingat belum banyak pesawat yang melintasi kawasan tersebut. Pelayanan navigasi diselenggarakan untuk lalu lintas penerbangan yang tidak ramai.
Tujuh puluh tahun berselang, FIR Natuna telah menjelma menjadi salah satu ruang udara tersibuk di dunia.
Kini rute Jakarta-Singapura merupakan salah satu rute internasional paling ramai, bahkan telah melampaui rute gemuk London-Paris.
Mengingat letak FIR Natuna yang strategis, masih terdapat banyak penerbangan lain yang melintas guna mencapai benua Asia maupun Australia.
Setiap pesawat melintas di sana dikenakan pungutan, dikenal sebagai Route Air Navigation Service Charges.
Pungutan (charges) ketimbang pajak (taxes) dimaksudkan agar pemasukan dari pelayanan navigasi ruang udara dikembalikan untuk fungsi yang sama.
Hal ini lumrah dan berlaku di seluruh dunia. Di Indonesia, pungutan tersebut masuk ke kas negara sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
Untuk kasus FIR Natuna, jumlah pendapatan per tahun mencapai jutaan dollar AS. Sayangnya, Indonesia hanya mendapatkan "uang sewa" dari Singapura, ibaratnya hanya sepotong kue kecil (lihat Catatan Redaksi di akhir artikel, red).
Bayangkan, betapa besar potensi PNBP jika FIR Natuna dikelola sendiri secara profesional.
Pada September 2015, Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar pengambilalihan pengelolaan ruang udara tersebut dipercepat.
Baca juga : Jokowi Tegaskan Akan Ambil Alih FIR dari Singapura
Instruksi Presiden ditafsirkan agar target dapat tercapai dalam waktu tiga atau empat tahun, tepatnya lebih cepat dari amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang menargetkan paling lama tahun 2024.
Mengingat FIR Natuna telah menjadi salah satu tambang emas di udara, sangat logis jika pemerintah Indonesia mengupayakan pengambilalihan secepat mungkin.
Sayangnya, pembubaran Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia (Depanri) pada Desember 2014 memperlambat upaya tersebut.
Baik disadari maupun tidak, absennya Depanri telah mengorbankan waktu untuk mengkaji kementerian mana yang menjadi leading sector yang tepat, serta kehilangan instrumen untuk meredam timbulnya ego-sektoral selama proses berlangsung.
Isu pertahanan, kedaulatan ekonomi, dan hukum
Bagi TNI Angkatan Udara, status quo berarti tidak ada rahasia yang dapat disimpan dari Singapura.
Setiap misi penerbangan pada FIR Natuna akan selalu berada di bawah pengawasan air traffic control (ATC) negara tetangga, termasuk patroli rutin dan upaya penyergapan
penerbangan gelap.
Bahkan, menyalakan mesin pesawat saja harus mendapatkan izin mereka terlebih dahulu.
Lantas bagaimana kita dapat menangkap penerbangan gelap yang dilakukan militer Singapura?
Keadaan akan menjadi lebih genting ketika ATC Singapura menolak izin terbang pesawat TNI AU atau sipil berbendera Indonesia saat kepentingan nasional mendesak (lihat Catatan Redaksi di akhir artikel, red).
Maka, tidak salah bila mendalilkan sektor pertahanan di teras rumah kita sendiri nyatanya begitu keropos.
Imbas lainnya ialah penundaan penetapan Air Defense Identification Zone (ADIZ) di teras Indonesia, tepatnya langit Natuna. Saat ini, keberadaan ADIZ Indonesia tengah dikaji ulang.
Tanpa kontrol efektif atas ruang udara, penetapan ADIZ akan melanggar norma internasional yang hidup serta berpotensi membahayakan keselamatan penerbangan. Jika dipaksakan, maka berpotensi menjadi senjata makan tuan.