JAKARTA, KOMPAS.com - Hasil survei Media Survei Nasional (Median) dilakukan 1-9 Februari 2018 menunjukkan responden yang memilih Jokowi hanya 35 persen.
Penyebabnya adalah masalah ekonomi.
Padahal, pada survei Oktober 2017, elektabilitas Jokowi masih di angka 36,2 persen. Lalu, pada survei sebelumnya, April 2017, elektabilitas Jokowi masih mencapai 36,9 persen.
Lantas apa yang menjadi modal kekuatan Jokowi untuk menaikkan elektabilitas? Mengingat pada Agustus mendatang tahap Pilpres 2019 sudah dimulai.
Wakil Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Daniel Johan berpendapat bahwa komitmen Presiden Jokowi kepada rakyat dan tidak mengambil jarak dengan masyarakat menjadi kekuatan otentik yang bisa digunakan untuk menaikkan elektabilitas.
(Baca juga: Proyek Infrastruktur Bagai Dua Sisi Mata Pisau untuk Elektabilitas Jokowi)
"Komitmen kepada rakyat dan tidak berjarak dengan rakyat tetap menjadi kekuatan otentik Jokowi," ujar Daniel kepada Kompas.com, Jumat (23/2/2018).
Terkait hasil survei tersebut, Menurut Daniel, seharusnya bisa digunakan bagi Presiden Jokowi untuk meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat.
Dengan demikian, elektabilitasnya akan ikut naik jelang Pilpres 2019.
"PKB dalam melihat survei ambil positifnya saja, kalau berkurang menjadi pendorong untuk lebih baik, kalau meningkat bersyukur dan semakin semangat memenangkan hati masyarakat," tuturnya.
Daniel mengakui kondisi ekonomi memang menjadi tantangan bagi Presiden Joko Widodo saat ini. Anggota Komisi IV DPR itu mencontohkan kebijakan pemerintah di sektor pertanian.
"Tantangan terberatnya memang tetap menjaga kondisi ekonomi dan keamanan," kata Daniel.
(Baca juga: Elektabilitas Jokowi Turun, PDI-P Akui Sektor Ekonomi Belum Optimal)
Jika melihat data yang disampaikan oleh Kementerian Pertanian, lanjut Daniel, maka telah terjadi kemajuan besar khususnya dalam peningkatan produksi.
Namun di tengah keberhasilan tersebut, pemerintah justru mengambil kebijakan impor beras.
Menurut Daniel, kebijakan tersebut membuat masyarakat tidak melihat pencapaian yang diklaim pemerintah melalui data Kementerian Pertanian.
Selain itu, kebijakan impor beras juga dinilai tidak berpihak ke para petani.
"Kalau data yang disampaikan resmi oleh Kementan itu valid, maka telah terjadi kemajuan besar khususnya dalam peningkatan produksi, tinggal kita pastikan saja datanya valid," tuturnya.
"Tapi saya kecewa di tengah keberhasilan tersebut kok malah ambil kebijakan impor beras, sama saja meniadakan kesuksesannya sendiri sekaligus membuat petani susah," kata Daniel.