Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munawir Aziz
Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom, Penulis Sejumlah Buku

Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom, menulis buku Bapak Tionghoa Nusantara: Gus Dur, Politik Minoritas dan Strategi Kebudayaan (Kompas, 2020) dan Melawan Antisemitisme (forthcoming, 2020).

Tionghoa, Antara Sasaran Kebencian dan Ketimpangan Sosial

Kompas.com - 22/02/2018, 14:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


SAAT
ini, orang-orang Tionghoa di Indonesia seolah menjadi sasaran kebencian. Narasi kebencian sedemikian dahsyat menjadi gelombang yang mengepung kehidupan mereka.

Gelombang kebencian ini, semakin dahsyat pada proses Pilkada DKI Jakarta 2017, ketika Ahok—nama sapaan dari Basuki Tjahaja Purnama—beradu kekuatan dengan Anies Baswedan dalam kontestasi politik.

Citra diri Ahok—representasi Tionghoa dan non-muslim—beradu melawan Anies Baswedan, dengan citra pemimpin muslim dan keturunan Arab. Isu pribumi-non pribumi yang berembus pada masa kampanye seolah menjadi isu yang salah sasaran. 

Isu tersebut mempengaruhi persepsi publik dengan menggiring kinerja kepemimpinan dan kredibilitas personal kepada kontestasi isu etnisitas dan agama.

(Baca juga: Soal Pribumi, Politik Identitas, dan Nurani Para Politisi)

Isu etnis menjadi perdebatan panjang di media sosial serta menjadi vibrasi isu di kedai-kedai kopi, masjid, dan sekolah. Bahkan, vibrasi isunya tidak hanya di Ibu Kota tetapi juga melampaui ruang menuju lintas kawasan di negeri ini.

Seusai Pilkada DKI Jakarta, ternyata kebencian terhadap Tionghoa tidak menyurut. Dari perbicangan dengan teman-teman di beberapa daerah, betapa ketionghoaan dan label non-muslim menjadi penghalang untuk membangun jembatan komunikasi.

Mereka yang Tionghoa sering dicap kafir dan diekslusi dari ruang interaksi lintas kelompok.

Bukan narasi baru

Kebencian terhadap kelompok Tionghoa merentang panjang dalam sejarah negeri ini. Narasi kebencian ini berenteng dari masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) hingga Orde Baru.

Pada 1740, misalnya, sekitar sepuluh ribu orang Tionghoa dibantai di Batavia. Secara kejam, Jenderal Adriaan Valckenier membantai orang-orang Tionghoa dari kulminasi beberapa kasus.

Salah satunya, pada 9 Oktober 1740 terjadi huru-hara di dalam tembok Batavia. Beberapa ratus orang China yang menjadi tahanan di Stadhuis—Balai Kota Batavia yang sekarang adalah Museum Sejarah Jakarta—dihabisi di halaman gedung itu.

Peristiwa tersebut meluas ke beberapa kawasan di Jawa, antara lain di Cirebon, Semarang, dan Lasem. Drama gelap ini kemudian dikenal sebagai "Geger Pacinan", yang diulas secara mendalam dalam riset Daradjadi (2013).

Kebencian terhadap Tionghoa berlanjut pada masa Perang Jawa (1825-1830), ketika orang Tionghoa difitnah sebagai "pembawa sial" dalam barisan prajurit Diponegoro.

Warga keturunan Tionghoa berdoa di Vihara Hian Thian Siang Tee Bio, Palmerah, Jakarta Barat, Kamis (15/2/2018). Warga keturunan Tionghoa melakukan doa untuk menyambut Tahun Baru Imlek 2569.KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO Warga keturunan Tionghoa berdoa di Vihara Hian Thian Siang Tee Bio, Palmerah, Jakarta Barat, Kamis (15/2/2018). Warga keturunan Tionghoa melakukan doa untuk menyambut Tahun Baru Imlek 2569.

Lalu, di tengah tragedi 1965, orang-orang Tionghoa dikaitkan dengan komunisme dan dianggap mendukung PKI. Framing ini menjadi senjata politik untuk mendiskriminasi orang Tionghoa di ruang publik.

Pada masa Orde Baru berkuasa, kebencian terhadap Tionghoa tidak kalah kejamnya. Soeharto menjadikan orang Tionghoa sebagai sapi perah ekonomi, untuk menarik sebanyak mungkin keuntungan dalam bisnis.

(Baca juga: Merayakan Imlek, Merenungi Semangat Kebangsaan)

Barulah ketika KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden, kebijakan diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa dicabut. Melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur mencabut Instruksi Presiden terbitan Soeharto pada 1967, yang membatasi ruang gerak dan ekspresi kebudayaan orang Tionghoa.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ganjar-Mahfud Absen saat Penetapan Prabowo-Gibran, PAN: Enggak Ngaruh

Ganjar-Mahfud Absen saat Penetapan Prabowo-Gibran, PAN: Enggak Ngaruh

Nasional
Sudirman Said Sebut 'Dissenting Opinion' 3 Hakim MK Jadi Catatan Pengakuan Kejanggalan Pilpres 2024

Sudirman Said Sebut "Dissenting Opinion" 3 Hakim MK Jadi Catatan Pengakuan Kejanggalan Pilpres 2024

Nasional
Pimpinan MPR: Mooryati Soedibyo Sosok Inspiratif Perempuan Indonesia

Pimpinan MPR: Mooryati Soedibyo Sosok Inspiratif Perempuan Indonesia

Nasional
Anies-Muhaimin Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran Sebagai Pemenang Pilpres 2024

Anies-Muhaimin Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran Sebagai Pemenang Pilpres 2024

Nasional
AHY: Selamat Pak Prabowo-Gibran, Presiden Terpilih 2024-2029

AHY: Selamat Pak Prabowo-Gibran, Presiden Terpilih 2024-2029

Nasional
Apresiasi Putusan MK, AHY: Kami Tahu Beban dan Tekanan Luar Biasa

Apresiasi Putusan MK, AHY: Kami Tahu Beban dan Tekanan Luar Biasa

Nasional
Di Hannover Messe 2024, Pertamina Patra Niaga Paparkan Upaya Pemerataan Energi Indonesia

Di Hannover Messe 2024, Pertamina Patra Niaga Paparkan Upaya Pemerataan Energi Indonesia

Nasional
Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, Sudirman Said: Tim yang Kalah Harus Hormati Putusan MK

Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, Sudirman Said: Tim yang Kalah Harus Hormati Putusan MK

Nasional
Cuti, AHY Akan Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran di KPU

Cuti, AHY Akan Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran di KPU

Nasional
Persiapkan Leaders’ Retreat, Menlu Singapura Temui Menko Airlangga Bahas Kerja Sama dan Isu Strategis

Persiapkan Leaders’ Retreat, Menlu Singapura Temui Menko Airlangga Bahas Kerja Sama dan Isu Strategis

Nasional
Pesan Terakhir Pria yang Ditemukan Tewas di Kontrakan Depok, Minta Jasadnya Dikremasi

Pesan Terakhir Pria yang Ditemukan Tewas di Kontrakan Depok, Minta Jasadnya Dikremasi

Nasional
Profil Mooryati Soedibyo: Mantan Wakil Ketua MPR dan Pendiri Mustika Ratu yang Meninggal Dunia di Usia 96 Tahun

Profil Mooryati Soedibyo: Mantan Wakil Ketua MPR dan Pendiri Mustika Ratu yang Meninggal Dunia di Usia 96 Tahun

Nasional
Pendiri Mustika Ratu, Mooryati Soedibyo, Meninggal Dunia di Usia 96 Tahun

Pendiri Mustika Ratu, Mooryati Soedibyo, Meninggal Dunia di Usia 96 Tahun

Nasional
Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada, KPU Siap Sempurnakan Sesuai Saran MK

Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada, KPU Siap Sempurnakan Sesuai Saran MK

Nasional
Bongkar Pemerasan SYL, Jaksa KPK Bakal Hadirkan Sespri Sekjen Kementan di Pengadilan

Bongkar Pemerasan SYL, Jaksa KPK Bakal Hadirkan Sespri Sekjen Kementan di Pengadilan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com