JAKARTA, KOMPAS.com - Meski setengah hati atas disahkannya Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3), eksekutif tak akan membatalkannya melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atau menginisiasi revisi terbatas atas undang-undang tersebut.
"Tidak ada Perppu ya, tidak ada (revisi terbatas)," ujar Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly saat dijumpai di Kompleks Istana Presiden Jakarta, Selasa (20/2/2018).
Pihak eksekutif, lanjut Yasonna, memilih untuk mendorong kelompok di masyarakat sipil mengajukan judicial review UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Saya persilahkan teman-teman menggugat ke MK, tapi setelah jadi UU. Jangan digugatnya sebelum jadi UU, nanti batal. Daripada kita capek-capek berdebat, lebih baik gugat saja ke MK," ujar Yasonna.
Diketahui Presiden Jokowi disebut enggan menandatangani pengesahan UU MD3.
(Baca juga: Yasonna Sebut Jokowi Mungkin Tidak Akan Tandatangani UU MD3)
Langkah itu adalah salah satu bentuk protes eksekutif terhadap sejumlah pasal dalam UU MD3 yang menuai polemik di masyarakat.
Meski, langkah tersebut diakui tidak akan membatalkan UU MD3. Sebab, berdasar pada aturan perundangan, jika dalam waktu 30 hari undang-undang tidak ditandatangani, maka undang-undang itu praktis tetap berlaku.
Yasonna mengatakan, saat revisi UU MD3 dibahas, pemerintah hanya mengajukan Daftar Inventarisir Masalah (DIM) penambahan kursi pimpinan DPR.
Namun ternyata di dalam perjalanannya, para wakil rakyat itu menambah sejumlah pasal yang saat ini berbuah kontroversi di masyarakat.
"(Soal pasal kontroversial) bukan usulan pemerintah, sama sekali bukan. Itu (UU MD3) memang produk berdua (DPR bersama-sama pemerintah). Tapi kan melalui perdebatan kencang juga," ujar Yasonna.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.