MERAYAKAN Imlek sejatinya adalah merayakan kebinekaan dalam kedamaian. Di negeri ini, Imlek tidak hanya menjadi renungan bagi orang-orang Tionghoa tetapi juga oase bagi mereka yang meyakini kedamaian dan kebaikan sebagai tujuan interaksi antar-manusia.
Makna Imlek melintasi batas-batas etnis dan agama karena telah menjadi bagian dari interaksi antar-budaya.
Dalam sejarah panjangnya, tradisi Imlek merupakan perayaan musim semi. Usia tradisi ini sudah lebih dari 3.800 tahun, tepatnya dimulai pada masa pemerintahan Dinasti Shang.
Pada perkembangannya, sejak zaman pemerintahan Kaisar Wudi dari masa Dinasti Han (202 SM-220 M), penetapan tahun baru Imlek mulai mengikuti kalender China, berlanjut hingga kini.
Intinya, Imlek menjadi ruang bersyukur dalam tradisi masyarakat China, yang pada masa awalnya bersandar pada kultur agraris. Seiring waktu, Imlek menjadi ritual budaya, dirayakan sebagai bagian dari budaya komunitas Tionghoa di seluruh dunia.
(Baca juga: Mendadak Bandeng di Rawa Belong)
Pada tahun ini, kita merayakan Imlek pada suasana turbulensi politik, yang sering disebut sebagai "Tahun Politik". Di tengah kontestasi, seringkali orang-orang Tionghoa menjadi korban dari politik etnis dan agama.
Masih segar dalam ingatan, bagaimana persaingan politik pada Pilkada DKI Jakarta pada 2017 menimbulkan ketegangan. Isu etnis dan agama berembus kencang, melebihi presentasi kepemimpinan tentang kinerja, program strategis, dan kebijakan yang memihak rakyat.
Persaingan politik ini rentan menjadikan orang Tionghoa sebagai korban dari psywar dan diskriminasi etnis. Meski demikian, harus diakui bahwa jurang ekonomi yang demikian lebar— antara pengusaha-pengusaha Tionghoa dengan warga di sekitarnya—membutuhkan upaya untuk mencipta kemaslahatan publik.
Jika jurang tersebut semakin lebar, isu etnis dan agama akan sangat mudah berembus dalam ruang kontestasi politik di beberapa kawasan negeri ini.
(Simak juga: Ketimpangan, Ketidakadilan, dan Tahun Politik)
Sering kali, dalam perdebatan-perdebatan di media sosial dan ruang publik keagamaan yang muncul adalah framing bahwa Tionghoa itu kafir. Citra Tionghoa sebagai kelompok etnis digeser menjadi interaksi agama, yaitu sebagai non-muslim.
Padahal, dalam keseharian, orang-orang Tionghoa memeluk beragam agama, yaitu Konghucu, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Dari interaksi penulis dengan beragam komunitas Tionghoa, identitas keagamaan yang ditampilkan ke publik tidaklah tunggal.
Perjuangan kemerdekaan
Di sisi lain, kontestasi politik juga kerap meminggirkan sejarah perjuangan orang-orang Tionghoa. Seolah-olah, orang-orang Tionghoa sebagai "orang asing" di negeri ini, tidak mempunyai saham dalam perjuangan kemerdekaan.
Isu pribumi dan non-pribumi menghantam dengan keras, meski secara konsep mengalami cacat logika.
(Baca juga: Faktanya, Semua Orang Indonesia "Imigran", Tidak Ada yang Pribumi)