JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat Erma Suryani Ranik angkat bicara soal pasal yang mengatur hak imunitas dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Pasal 245 UU MD3 menyatakan bahwa pemeriksaan anggota DPR harus dipertimbangkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terlebih dahulu sebelum dilimpahkan kepada Presiden untuk pemberian izin bagi aparat penegak hukum.
Menurut Erma, izin presiden dan pertimbangan MKD tak diperlukan oleh aparat penegak hukum, termasuk KPK, jika anggota DPR yang hendak diperiksa tersangkut tindak pidana khusus.
Baca juga: YLBHI: Jurnalis dan Aktivis Berpotensi Dijerat UU MD3
Tindak pidana khusus itu termasuk kasus korupsi.
"Korupsi itu termasuk dalam tindak pidana khusus," ujar Erma, saat rapat dengar pendapat antara DPR dan Komisi III, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (13/2/2018).
Erma mengatakan, dengan adanya pasal tersebut, DPR tidak bermaksud memposisikan anggota Dewan lebih tinggi dengan warga negara lain di hadapan hukum.
"Pasal ini tidak pernah meletakkan kami ini berdiri di atas warga negara Indonesia yang lain," kata Erma.
Pada kesempatan yang sama, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P Masinton Pasaribu mengatakan, dalam pasal tersebut jelas disebutkan bahwa permintaan izin tidak berlaku terkait tindak pidana khusus.
Baca juga: UU MD3 Dinilai Berpotensi Membuat Korupsi Tumbuh Subur di DPR
Dengan demikian, kata Masinton, aparat penegak hukum bisa meminta keterangan atau memeriksa anggota DPR yang terkait kasus korupsi tanpa perlu adanya izin MKD.
"Kalau berkaitan dengan tindak pidana korupsi itu jelas Pak di UU MD3 itu. Terkait tindak pidana khusus. Maka enggak ada itu izin ini," kata Masinton.
Diketahui, Pasal 245 ayat (1) UU MD3 yang baru menyatakan, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari MKD.
Ayat (2) berbunyi, "Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud ayat 1 tidak berlaku apabila anggota DPR:
(a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana.
(b) disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup atau
(c) disangka melakukan tindak pidana khusus.