JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menganggap hak angket KPK yang dibentuk DPR adalah sah dengan memutuskan menolak permohonan uji materi yang diajukan pegawai KPK. Aturan yang diuji adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3) mengenai pembentukan hak angket.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menganggap putusan tersebut akan menjadi terobosan buruk ke depan.
"Tentu saja DPR punya hak angket. Tapi hak angket untuk apa dan untuk siapa?" ujar Asfinawati kepada Kompas.com, Kamis (8/2/2018).
Dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3 berbunyi, adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Baca juga : Tolak Gugatan Pegawai KPK, MK Nyatakan Hak Angket Sah
Asfinawati mengatakan, KPK sebagai penegak hukum tidak termasuk objek hak angket sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut. Jika hak angket terhadap KPK saja dikabulkan, maka tak menutup kemungkinan lembaga lain yang tak termasuk dalam objek bisa diajukan hak angket.
"Kalau begini, maka MK juga artinya bisa diangket DPR melalui argumen yang sama," kata Asinawati.
Asfinawati merupakan salah satu dari beberapa pemohon uji materi hak angket KPK bersama mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas sebagai pemohon individu, Ilhamsyah dan Damar Panca Mulya dari KPBI serta Adnan Topan Husodo mewakili ICW. Namun, permohonan itu akhirnya dicabut sebagai bentuk mosi tidak percaya.
"Kami sebenarnya mencabut bukan tidak percaya kepada MK secara keseluruhan, bukan juga kepada seluruh hakim, tapi peristiwa yang terungkap ada hakim yang melanggar etik," kata Asfinawati.
Baca juga : MK Tolak Gugatan Hak Angket KPK, 4 Hakim Beda Pendapat
Hakim yang dia maksud adalah Ketua MK Arief Hidayat. Arief dianggap melanggad kode etik hakim konstitusi karena telah bertemu dengan pihak DPR. Pertemuan tersebut dianggap berpotensi memengaruhi putusan perkara yang sedang ditangani MK.
"Etik sebenarnya lebih tinggi daripada hukum. Karena orang bisa melanggar etika meski itu bukan kesalahan hukum," kata Asfinawati.
Sebelumnya, dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa KPK adalah lembaga penunjang pemerintah yang dibentuk berdasarkan UU. Dengan demikian, KPK adalah lembaga eksekutif.
"KPK merupakan lembaga di ranah eksekutif yang melaksanakan fungsi eksekutif yakni penyidikan dan penuntutan," kata Arief.
"DPR berhak meminta tanggung jawab KPK," tambah dia.
Dari sembilan hakim, ada empat hakim yang menyatakan disssenting opinion atau perbedaan pendapat atas putusan ini. Mereka adalah Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Saldi Isra dan Suhartoyo.