JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengkritik pemerintah yang ngotot menghidupkan pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Fahri mengatakan, pasal penghinaan presiden adalah pasal peninggalan Belanda yang ditujukan untuk penghinaan kepada pemimpin-pemimpin kolonial, ratu Belanda, gubernur jenderal, dan lain-lain.
"Pasal ini memang digunakan bukan di Belanda, melainkan di negara-negara jajahan. Jadi, kalau pasal ini hidup, sama saja Presiden menganggap dirinya penjajah dan rakyat itu yang dijajah," kata Fahri saat dihubungi, Rabu (7/2/2018).
Berdasarkan Pasal 263 draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018, seseorang yang menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dapat dipidana paling lama 5 tahun penjara.
(Baca juga: Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP Dinilai Membangkangi Konstitusi)
Pasal ini tetap dipertahankan meski sudah pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
Bahkan, pasal terkait penghinaan presiden ini diperluas di pasal selanjutnya dengan mengatur penghinaan melalui teknologi informasi.
(Baca juga: Menyoal Pasal "Zombie", Pasal Mati yang Hidup Kembali dalam RKUHP)
Fahri mengatakan, apabila pasal tersebut disahkan, akan membawa Indonesia ke era kemunduran yang luar biasa.
"Karena ini memutar balik jarum jam peradaban demokrasi kita jauh ke belakang, mudah-murahan Pak Jokowi paham bahwa ini kesalahan yang fatal," kata Fahri.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly membantah bahwa pasal penghinaan presiden yang tengah dibahas dalam RKUHP merupakan pesanan Presiden Joko Widodo.
"Enggaklah. Pasal itu sebelum pemerintahan ini ada sudah dibahas. Itu kan di draf," kata Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (6/2/2018).
(Baca: Yasonna Bantah Pasal Penghinaan Presiden Pesanan Jokowi)
Yasonna menegaskan, aturan tersebut tidak dibuat untuk membatasi masyarakat mengkritik Presiden. Yasonna memastikan, nantinya akan dibuat batasan yang jelas sehingga pasal ini tidak multitafsir.
Ia memastikan, masyarakat tetap bisa menyampaikan kritik yang membangun terhadap presiden.
"Kalau mengkritik pemerintah itu memang harus, tetapi menghina itu soal personal, soal yang lain, ini simbol negara," katanya.