JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah tidak setuju jika pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden kembali muncul dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Menurut Fahri, seorang presiden bukan merupakan simbol negara yang bisa disakralkan.
"Enggak perlu dimasukkan lagi. Manusia itu bukan simbol negara. Simbol negara itu Burung Garuda (Pancasila), bendera Merah Putih. Itu yang enggak boleh dihina," ujar Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (2/2/2018).
Fahri menegaskan bahwa presiden merupakan obyek kritik sehingga tak perlu lagi KUHP mengatur pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden.
Ia menilai, jika pasal tersebut diatur dalam KUHP, jabatan presiden akan dianggap sakral dan tak bisa dikritik.
Di sisi lain, kata Fahri, pasal penghinaan terhadap presiden dalam KUHP yang lama sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
(baca: Pernah Dibatalkan MK, Pasal Penghinaan Presiden Muncul Lagi di RKUHP)
"Kalau manusia, presiden itu obyek kritik. Namun, kalau ada yang hina presiden, lapor saja secara pribadi," ucapnya.
"Enggak perlu (pasal penghinaan terhadap presiden). Udah enggak boleh gitu lagi jangan terlalu disakral-sakralkanlah," kata Fahri.
Berdasarkan Pasal 264 draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018, seseorang yang menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan sarana teknologi informasi dapat dipidana paling lama 5 tahun penjara.
Namun, konten yang disebarluaskan tidak bisa dikategorikan sebagai penghinaan apabila dilakukan untuk kepentingan umum demi kebenaran dan pembelaan diri.
(Baca juga: Jokowi Dinilai Berlindung di Balik Pasal Penghinaan Presiden)
Hal tersebut ditegaskan sebagai upaya untuk melindungi kebebasan berekspresi dalam berdemokrasi.
Sementara dalam KUHP yang lama, penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden melalui teknologi informasi tidak diatur.
MK melalui putusan No 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam KUHP.
Permohonan uji materi tersebut diajukan Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis.
MK menilai, Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.