JAKARTA, KOMPAS.com — Jaksa Agung HM Prasetyo menilai, Mahkamah Konstitusi (MK) semestinya tak hanya berpegang pada syarat persentase suara untuk mengadili sengketa pemilu.
Menurut dia, dalam menangani sengketa pemilu, MK juga harus melihat pelanggaran yang dilakukan sehingga menyebabkan adanya selisih suara.
"Dalam perkembangannya, hal ini mengundang rasa ketidakpuasan karena dinilai menyandera MK untuk tidak menerima gugatan sejak awal karena selisih melampaui batasan yang disyaratkan," kata Prasetyo dalam rapat kerja bersama Komisi IIII DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (31/1/2018).
Diketahui, untuk provinsi yang jumlah penduduknya di bawah 2 juta, syarat selisih suara adalah 2 persen.
Sementara itu, provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta sampai 6 juta, selisih suara 1,5 persen.
(Baca juga: Sengketa Pilkada Diprediksi Meningkat, Akan Jadi Tugas Berat bagi MK)
Untuk provinsi dengan jumlah penduduk 6 juta sampai 12 juta selisihnya 1 persen, serta di atas 12 juta selisihnya 0,5 persen.
Sementara untuk kabupaten atau kota, jumlah penduduk di bawah 150.000 selisih suara yang bisa disengketakan adalah 2 persen; 150.000 sampai 250.000 1,5 persen; 250.000 sampai 500.000 1 persen; dan di atas 500.000 selisihnya 0,5 persen.
Padahal, menurut Prasetyo, ketika ada pihak yang gagal menggugat lantaran tak memenuhi syarat tersebut, tidak serta merta pelanggaran yang dilakukan tergugat hilang dan ia menilai semestinya keadilan tetap ditegakkan.
"Sementara masukan dan penyampaian bukti yang tidak benar tak dihiraukan. Rumusan (aturan persentase) tersebut mengundang kritik dari masyarakat luas. Membelenggu MK pada batasan selisih, bukan kebenaran perolehan suara yang dilakukan secara fair atau dengan curang," lanjut dia.