JAKARTA, KOMPAS.com – Penyederhanaan metode verifikasi faktual pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai dapat menurunkan kualitas verifikasi itu sendiri, dan berujung pada turunnya kualitas pemilu.
Penyederhanaan metode verifikasi faktual ini terpaksa dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum RI (KPU), lantaran dua opsi yang disodorkan ke pembuat undang-undang yakni DPR dan pemerintah, ditolak. Dua opsi tersebut yaitu revisi terbatas UU Pemilu dan Perppu.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi II DPR Fandi Utomo menampik bahwa merekalah membuat KPU terpaksa melakukan penyederhanaan metode verifikasi faktual.
“Tidak, bukan. Bukan Komisi II yang meminta penyederhanaan,” kata politisi Partai Demokrat itu, di sela-sela paparan Pencapaian 2017 dan Proyeksi 2018 Bawaslu, di Jakarta, Kamis (25/1/2018).
Fandi berdalih, penyederhanaan metode verifikasi faktual mau tak mau dilakukan karena kondisi yang memaksa. Dia mengatakan, sisa waktu yang dimiliki oleh KPU untuk melaksanakan proses ini tinggal 30 hari.
(Baca juga: Partai Peserta Pemilu 2014 Tawar-Menawar Jadwal Verifikasi Faktual)
Padahal normalnya, proses verifikasi faktual ini dilaksanakan selama 79 hari.
Selain soal keterbatasan waktu, Fandi juga berdalih KPU tidak punya anggaran cukup untuk membiayai verifikasi faktual terhadap 12 partai politik lama peserta Pemilu 2014.
“KPU tidak punya cukup waktu untuk melakukan revisi anggaran,” kata dia.
Fandi menambahkan, lantaran dua keterbatasan KPU tersebut, partai pun diminta untuk menghadirkan anggota ke kantor DPC (kabupaten/kota). Padahal semestinya, kata Fandi, tugas KPU adalah mendatangi anggota parpol.
“Menurut saya, kalau dianggap kualitasnya turun, saya yakin tidak. Karena KPU secara mandiri memutuskan itu. Konsultasi dengan DPR tidak mengikat,” kata Fandi.
(Baca juga: Perubahan Metode Verifikasi Faktual KPU Pengaruhi Kualitas Pemilu )
“Tetapi justru parpol yang ada di parlemen berpartisipasi dan berkontribusi dalam berlangsungnya proses verifikasi. Karena sebenarya tidak masuk akal (untuk) dilaksanakan,” pungkasnya.
Sebelumnya KPU tidak menampik jika muncul pandangan bahwa penyederhanaan metode verifikasi faktual ini menurunkan kualitas pemilu.
Hanya saja, kata Komisioner KPU Wahyu Setiawan, publik harus paham ada situasi dan kondisi yang mendorong KPU melakukan perubahan metode. Situasi dan kondisi tersebut yaitu keterbatasan waktu dan ketiadaan anggaran.
Sebenarnya, kata Wahyu, untuk mengatasi keterbatasan waktu ini KPU sudah menyodorkan opsi revisi terbatas UU Pemilu atau Perppu. Tetapi kedua opsi ini ditolak oleh pemerintah dan DPR.
Sementara itu, usulan tambahan anggaran juga tidak disetujui oleh pemerintah. “Dikunci (oleh pemerintah dan DPR) di dua hal itu. Ini publik harus tahu,” kata Wahyu.