Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan agar setiap perusahaan BUMN memiliki fungsi inovasi bagi publik seperti langkah pemerintah Jepang tersebut.
Di tataran kebijakan, ancaman menjadikan BUMN instrumen inovasi adalah sikap laten ego sektoral badan-badan pemerintahan. Sesungguhnya, sikap tersebut sangat mungkin punya landasan mengingat suatu instansi dapat mudah berdalih bahwa tugas membina BUMN adalah tugas Kementerian BUMN.
Padahal, kembali seperti jelas terlihat di contoh Sinopec di atas, inovasi suatu BUMN bergantung pada sektor-sektor di perguruan tinggi, bidang pemerintahan bertautan (seperti bidang mineral, industri, dan lainnya), pemerintahan daerah, serta lembaga-lembaga riset pusat dan daerah.
Untuk itu, Kementerian BUMN RI perlu mencari dan mendapat pertolongan dari kementerian dan lembaga pemerintah lainnya.
Agar koordinasi berkualitas tinggi bisa tercapai, Presiden RI perlu mengawasi dan membina secara langsung supaya lembaga-lembaga pemerintah menghormati dan mendukung proses pembangkitan fungsi inovasi BUMN.
Saran ini tidak terlalu berlebihan, mengingat secara struktural posisi kepemimpinan pemerintahan inovasi di Jepang, Korea Selatan, dan China ada di kepala pemerintahan bukan tingkat kementerian.
Kita perlu percaya Presiden Joko Widodo tidak akan keberatan untuk melakukannya. Jika presiden menjalankannya, maka itu jadi prestasi yang belum pernah berhasil diukir oleh presiden-presiden sebelumnya.
Karena kita butuh menjadikan BUMN memiliki kontrak sosial baru dengan semua warga negara Indonesia dengan mentransformasikan diri jadi wahana yang terbuka bagi publik secara lebih luas untuk langsung berkontribusi secara intelektual bagi pembangunan.
Kalau itu tercapai, kita bisa menjawab pertanyaan yang tadi dilontarkan di bagian atas tulisan ini adalah BUMN adalah tempat di mana kita, rakyat Indonesia, bisa ikut lebih leluasa berinovasi.
Amir F Manurung
Kandidat Doktor Kebijakan Iptek dan Inovasi, The National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo, Jepang. PPI Jepang (ppidunia.org)