JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P Henry Yosodiningrat berpendapat, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait verifikasi faktual tidak berlaku surut.
MK mengabulkan permohonan uji materi Pasal 173 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dengan adanya putusan ini, semua partai politik, termasuk 12 parpol peserta Pemilu 2014, harus mengikuti verifikasi faktual oleh KPU.
Menurut Henry, putusan MK tidak bisa diterapkan pada Pemilu 2019 karena putusan tersebut keluar setelah KPU melaksanakan tahap verikfikasi terhadap partai-partai baru.
Dengan demikian,kata dia, 12 partai politik peserta Pemilu 2014 tidak perlu mengikuti tahap verifikasi faktual pada Pemilu 2019.
"Saya berpendapat, putusan ini tidak berlaku surut, maka parpol yang lolos di (Pemilu) 2014 tidak perlu diverifikasi lagi. Tapi parpol baru yang harus diverifikasi," ujar Henry dalam rapat dengar pendapat dengan KPU, Bawaslu, dan Kementerian Dalam Negeri di ruang rapat fraksi, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (15/1/2018).
Baca juga: Rapat dengan Komisi II, KPU Paparkan 2 Dampak Putusan MK soal Verifikasi Faktual
Henry menilai, jika verifikasi faktual dilakukan terhadap seluruh parpol, termasuk 12 parpol peserta Pemilu 2014, tetap diterapkan maka hal itu berpotensi mengganggu tahapan pelaksanaan Pemilu 2019.
Sementara, berdasarkan peraturan KPU, penetapan parpol peserta pemilu 2019 harus dilakukan pada 17 Februari 2018.
Ia menegaskan, verifikasi faktual tidak akan selesai dalam waktu yang singkat.
"Penetapan parpol peserta harus dilakukan pada 17 Februari 2018, tidak akan terkejar. Mustahil akan selesai dalam waktu yang sangat singkat," kata Henry.
Baca juga: KPU: Tambahan Anggaran Verifikasi Faktual 12 Parpol Mencapai Rp 66 Miliar
Selain itu, lanjut Henry, verifikasi faktual terhadap seluruh parpol akan membebani anggaran negara.
Berdasarkan perhitungan KPU, verifikasi faktual terhadap 12 parpol membutuhkan tambahan anggaran sebesar Rp 66.318.520.000.
Rincian anggarannya yakni Rp 314.160.000 untuk tingkat provinsi dan Rp 66.004.460.000 untuk tingkat kabupaten.
"Ini membebani keuangan rakyat dengan penambahan personel dan berdampak akan menabrak UU yang ada terkait batas waktu," kata Henry.