JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR, Olly Dondokambey tetap yakin bahwa tidak terjadi mark up atau penggelembungan anggaran dalam proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
Hal itu dikatakan Olly seusai diperiksa untuk kesekian kalinya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung KPK Jakarta, Selasa (9/1/2018).
"Mana ada orang mark up anggaran di DPR. DPR itu cuma setujui undang-undang saja kok," ujar Olly seusai menjalani pemeriksaan.
(Baca juga : Ganjar, Yasonna, dan Olly Tak Masuk Dakwaan E-KTP, Ini Komentar PDI-P)
Menurut Olly, tidak ada masalah dalam pembahasan anggaran di DPR. Sebab, proyek dan anggaran e-KTP sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Jaksa KPK meyakini kebenaran adanya aliran dana korupsi e-KTP kepada sejumlah anggota DPR.
Beberapa di antaranya adalah Marzuki Alie, Olly Dondokambey dan anggota Banggar DPR lainnya.
Hal itu dijelaskan jaksa KPK saat membacakan surat tuntutan terhadap dua terdakwa mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (22/6/2017).
(Baca juga : Olly Dondokambey Tak Persoalkan Keyakinan Jaksa soal Aliran Uang E-KTP)
Menurut jaksa, adanya aliran uang untuk anggota Banggar DPR telah sesuai dengan keterangan para saksi dan didukung bukti petunjuk.
Misalnya, keterangan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin yang menyebut bahwa Marzuki Alie dan sejumlah anggota Banggar menerima uang.
Salah satu terdakwa yang telah divonis bersalah, yakni Andi Agustinus alias Andi Narogong mengakui bahwa benar telah terjadi penggelembungan harga dalam proyek pengadaan e-KTP.
Menurut Andi, mark up tersebut merupakan kerugian negara dari anggaran total senilai Rp 5,9 triliun.
Menurut Andi, barang-barang dalam proyek pengadaan e-KTP dibuat lebih mahal 10 persen. Konsorsium akan mendapat keuntungan jika barang yang dibeli berasal langsung dari pabrik.
Andi mengatakan, berdasarkan perhitungan, Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) akan mendapat selisih 20 persen dari modal.
Adapun 10 persen sebagai keuntungan konsorsium, dan 10 persen sisanya untuk membayar fee bagi DPR dan Kementerian Dalam Negeri.