JAKARTA, KOMPAS.com - Sepanjang 2013 hingga 2017, Ending The Sexual Exploitation of Children (ECPAT) Indonesia mencatat hanya 9 wisatawan asing yang dibawa ke pengadilan karena kasus paedofil.
Semua kasusnya terjadi di Bali.
Padahal, jumlah terduga paedofil yang ditahan Ditjen Imigrasi mencapai 107 orang.
Koordinator ECPAT Indonesia Ahmad Sofyan menduga, jumlah kasus yang tak tercatat dan tidak dilaporkan lebih dari itu.
"Walaupun ada undang-undang bisa sampai hukuman mati dan kebiri tapi kan pengawasan dan penyembuhan enggak ada. Dan masyarakat tidak tahu," kata Sofyan dalam sebuah acara diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (28/12/2017).
(Baca juga : Kemenpar Perlu Buat Desain Besar Pencegahan Eksploitasi Seksual pada Anak)
Penegak hukum menurutnya juga cenderung ragu jika mau menindak wisatawan asing.
Mereka kadang mengupayakan koordinasi dengan kedutaan besar negara terkait terlebih dahulu sebelum menindak. Hal itu cukup memakan waktu.
"Padahal menurut saya, jumlah wisatawan yang nakal tidak sampai 1 persen. Tapi mereka merusak reputasi destinasi wisatawan Indonesia sehingga citra kita jadi buruk. Karena sedikit sekali kasus-kasus wisatawan yang melakukan kejahatan seksual dibawa ke pengadilan," ujar Sofyan.
Sofyan menambahkan, ada wisatawan yang memang datang untuk mencari anak-anak dengan maksud praktik eksploitasi anak. Namun, ada pula wisatawan yang berniat wisata namun menemukan praktik tersebut.
Imbauan khusus menurutnya harus dilakukan oleh Kemenpar terhadap pengelola tempat wisata.
"Contoh di Garut, tim kami malah ditawarkan. Mau anak SD, SMP, atau SMA. Itu yang menawarkan orang setempat. Apakah suruhan hotel atau inisiatif. Jadi (ada wisatawan) niatnya wisata tapi ditawari anak-anak untuk kebutuhan seks. Sehingga wisatawan tadi terpengaruh," tuturnya.
Respon Kemenpar
Terkait hal tersebut, Asisten Deputi Tata Kelola Destinasi dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Oneng Setia Harini menuturkan, seluruh masukan akan diakomodasi oleh Kemenpar.
(Baca juga : Dua Sisi Mata Uang, Pariwisata dan Suburnya Eksploitasi Seksual Anak)
Salah satu yang bisa dilakukan adalah memberi imbauan kepada hotel-hotel di destinasi wisata untuk melakukan pencegahan terhadap eksploitasi seksual anak tersebut. Selain hotel, imbauan juga akan disampaikan kepada stakeholder terkait.
"Pengelola destinasi, asosiasi usaha pariwisata, ini yang bisa kami lakukan. Tapi kita juga harus melihat apa yang akan mereka lakukan. Termasuk bagaimana (upaya) masyarakatnya," kata Oneng.
Imbauan tersebut harus diikuti dengan pantauan, apakah mereka sudah melakukan pencegahan tersebut secara efektif.
"Kalau saya lebih kepada desain rencana aksinya. Kalau aturan kan sudah berkutat pada teori, tapi bagaimana actionnya kita," ucap dia.
Adapun Kemenpar sudah memiliki Peraturan Menteri yang diterbitkan pada 2010 tentang pedoman pencegahan eksploitasi anak di lingkungan pariwisata.
"Permen ini menjadi payung tapi kita sudah harus mendesain aksinya dari masing-masing stakeholder di destinasi pariwisata," tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.