JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memaparkan soal pemisahan penanganan perkara atau splitsing dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP.
Penjelasan tersebut dipaparkan dalam jawaban atas eksepsi yang diajukan mantan Ketua DPR RI Setya Novanto.
Jaksa Eva Yustisiana mengatakan, splitsing perkara merupakan salah satu kewenangan diskresi penuntut umum dalam proses penuntutan.
"Yakni mengajukan beberapa pelaku tindak pidana terpisah meski dari satu perkara hasil penyidikan," ujar Eva dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (28/12/2017).
Eva menjelaskan, splitsing diatur dalam Pasal 142 KUHAP yang berbunyi :
"Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah."
(Baca juga: Jawab Pengacara Novanto, Jaksa Analogikan Pencurian di Rumah Kosong)
Dalam pasal 141 KUHAP, disebutkan bahwa penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara yang saling berkaitan.
Pertama, beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya.
Kedua, beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain.
Ketiga, beberapa tindak pidana yang tidak tersangkut-paut satu dengan yang lain, tapi ada hubungannya.
"Yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan," kata Eva.
(Baca juga: Melihat Perjalanan Setya Novanto dalam Kasus E-KTP pada 2017)
Pengacara Novanto sebelumnya mempermasalahkan hilangnya sejumlah nama dalam dakwaan Novanto. Padahal, dalam dakwaan terdakwa sebelumnya, mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiharto disebutkan banyak pihak yang menerima uang dari proyek e-KTP.
Sebut saja ada mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, serta tiga politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Adapun tiga politisi PDI-P itu adalah mantan anggota Komisi II DPR Yasonna Laoly (kini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) dan Ganjar Pranowo (kini Gubernur Jawa Tengah), serta mantan Wakil Ketua Badan Anggaran DPR Olly Dondokambey (kini Gubernur Sulawesi Utara).
(Baca: Pengacara Novanto Heran Tiga Nama Politisi PDI-P Hilang dari Dakwaan)
Jaksa Ahmad Burhanuddin mengatakan, nama-nama tersebut memang belum ditetapkan sebagai tersangka.
"Meski belum ditetapkan sebagai tersangka, tidak menghilangkan unsur penyertaan bersama-sama tersangka," kata Ahmad.