Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alasan MK Tolak Permohonan Uji Materi Pasal Kesusilaan di KUHP

Kompas.com - 14/12/2017, 16:40 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketiga pasal tersebut mengatur soal kejahatan terhadap kesusilaan.

Permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP dalam perkara nomor 46/PUU-XIV/2016 diajukan oleh Guru Besar IPB Euis Sunarti bersama sejumlah pihak.

Pemohon dalam gugatannya meminta pasal 284 tidak perlu memiliki unsur salah satu orang berbuat zina sedang dalam ikatan perkawinan dan tidak perlu ada aduan.

Terkait pasal 285, pemohon meminta MK menyatakan bahwa pemerkosaan mencakup semua kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh, baik yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan maupun yang dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki.

Baca juga : MK Tolak Permohonan Uji Materi Pasal Kesusilaan di KUHP

Sementara pada pasal 292, pemohon meminta dihapuskannya frasa "belum dewasa", sehingga semua perbuatan seksual sesama jenis dapat dipidana. Selain itu, homoseksual haruslah dilarang tanpa membedakan batasan usia korban, baik masih belum dewasa atau sudah dewasa.

MK menilai dalil para pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum. Dalam pertimbangannya MK menjelaskan, pada prinsipnya permohonan pemohon meminta Mahkamah memperluas ruang lingkup karena sudah tidak sesuai dengan masyarakat.

Hal itu berakibat pada perubahan hal prinsip atau pokok dalam hukum pidana dan konsep-konsep dasar yang berkenaan dengan suatu perbuatan pidana.

Artinya secara substansial, pemohon meminta MK merumuskan tindak pidana baru yang merupakan wewenang pembentuk undang-undang.

Baca juga : Empat Hakim MK Beda Pendapat soal Putusan Uji Materi Pasal Kesusilaan di KUHP

Hakim MK Maria Farida mengatakan, Mahkamah tidak memiliki kewenangan untuk merumuskan tindak pidana baru sebab kewenangan tersebut berada di tangan Presiden dan DPR. Menurut Maria, MK tidak boleh masuk ke dalam wilayah politik hukum pidana.

"Produk hukum pidana lahir dari kebijakan pidana atau politik hukum pidana pembentuk undang-undang. MK tidak boleh masuk wilayah politik hukum pidana," tutur Maria dalam sidang pleno di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (14/12/2017).

Maria menjelaskan, ketika menyangkut norma hukum pidana, Mahkamah dituntut untuk tidak boleh memasuki wilayah kebijakan pidana atau politik hukum pidana (criminal policy).

Pengujian undang-undang yang pada pokoknya berisikan permohonan kriminalisasi maupun dekriminalisasi terhadap perbuatan tertentu tidak dapat dilakukan oleh MK, sebab hal itu merupakan salah satu bentuk pembatasan hak dan kebebasan seseorang.

Baca juga : Pasal Kesusilaan dalam RUU KUHP

Berbeda dengan bidang hukum lainnya, hukum pidana dengan sanksinya yang keras dapat mencakup perampasan kemerdekaan seseorang, bahkan nyawa seseorang.

Pembatasan hak dan kebebasan, sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, adalah kewenangan eksklusif pembentuk undang-undang.

"Maka legitimasi negara untuk merumuskan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana serta jenis sanksi yang diancamkan terhadap perbuatan itu dikonstruksikan harus datang dari persetujuan rakyat, yang dalam hal ini mewujud pada organ negara pembentuk undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden yang keduanya dipilih langsung oleh rakyat, bukan melalui putusan hakim atau pengadilan," tutur Maria.

"Hal ini penting ditegaskan sebab sepanjang berkenaan dengan kebijakan pidana atau politik hukum pidana, hal itu adalah sepenuhnya berada dalam wilayah kewenangan pembentuk undang-undang," ucapnya.

Namun dari sembilan hakim MK terdapat empat hakim yang memiliki perbedaan pendapat atau dissenting opinion atas putusan tersebut, yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams dan Aswanto.

Menurut mereka, dengan menyatakan bahwa zina seharusnya meliputi adultery (perselingkuhan) dan  fornication (hubungan seksual di luar nikah), Mahkamah tidak menjadi
"positive legislator” atau memperluas ruang lingkup suatu tindak pidana, melainkan mengembalikan kembali konsep zina sesuai dengan nilai hukum dan keadilan menurut berbagai nilai agama dan hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia.

Kompas TV Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat menemui dewan etik soal tudingan adanya lobi politik terhadap anggota Komisi III DPR.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nasional
JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

Nasional
Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Nasional
Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Nasional
DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

Nasional
Komisi II Sebut 'Presidential Threshold' Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Komisi II Sebut "Presidential Threshold" Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Nasional
Prabowo Nyanyi 'Pertemuan' di Depan Titiek Soeharto: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Prabowo Nyanyi "Pertemuan" di Depan Titiek Soeharto: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Nasional
Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Nasional
Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Nasional
Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Nasional
Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Nasional
CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah sejak 1999

CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah sejak 1999

Nasional
PPATK Koordinasi ke Kejagung Terkait Aliran Dana Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah

PPATK Koordinasi ke Kejagung Terkait Aliran Dana Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah

Nasional
Prabowo-Titiek Soeharto Hadiri Acara Ulang Tahun Istri Wismoyo Arismunandar, Ada Wiranto-Hendropriyono

Prabowo-Titiek Soeharto Hadiri Acara Ulang Tahun Istri Wismoyo Arismunandar, Ada Wiranto-Hendropriyono

Nasional
Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com