Demokrasi pada akhirnya diperlakukan sebagai seremoni secara bersama-sama (massive), bak pesta kemerdekaan tujuh belasan yang hanya sekali setahun, misalnya. Dengan kata lain, tatanan demokrasi pelan-pelan dijangkiti budaya patrimonialistik.
Menurut Francis Fukuyama dalam bukunya Political Order and Political Decay: from Industrial Revolution to the Globalization of Democracy (2014), terdapat penyakit akut terkait dengan pembangunan politik di banyak negara yang sedang membangun (developing countries).
Permasalahannya terletak pada peran negara yang lemah dan cenderung tak efektif. Para elite penguasa lebih lihai menampilkan kekuasaan despotik, suatu kemampuan untuk melakukan tekanan kepada pihak lawan seperti jurnalis, politisi oposan, dan kelompok-kelompok pesaing.
Akan tetapi, mereka tidak memiliki kekuatan dalam aspek kekuasaan infrastruktural, yaitu kemampuan untuk menghadirkan penguatan hukum yang adil dan penyediaan barang-barang publik seperti keselamatan, kesehatan, dan pendidikan.
Kondisi yang demikian jamak dengan irama postdemocracy besutan Colin Crouch. Begini jabaran beliau, "a post-democratic society is one that continues to have and to use all the institutions of democracy, but in which they increasingly become a formal shell. The energy and innovative drive pass away from the democratic arena and into small circles of a politico-economic elite."
Perkembangannya secara teknis-empiris, terutama untuk Indonesia, demokrasi menjadi semacam standar minimal saja.
Sementara itu, di sisi lain dinasti politik, pelibatan sanak famili ke dalam panggung politik, maraknya politik balas budi, politik harga pertemanan, justru tetap mekar semringah di mana pada akhirnya kerentanan terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme juga kian terpupuk dan meningkat.
Dengan kata lain, demokrasi diperlakukan semata sebagai instrumen teknis yang tidak terkait dengan tujuan yang lebih tinggi, seperti pemerataan kemakmuran dan kesejahteraan, keadilan sosial, dan perhargaan kepada kemanusiaan serta hak-hak sosial ekonomi yang melekat.
Saya kira, kita memang perlu melakukan refleksi mendalam tentang sikap kita terhadap demokrasi yang sedang kita nikmati saat ini.
Kelengahan publik, terutama dari kalangan intelektul dan masyarakat sipil, bisa saja secara tak sadar memarkir demokrasi Indonesia di tempat yang tidak semestinya.
Bukan hanya itu, segmentasi konflik yang kian captive tanpa manajemen perbedaan yang mumpuni akibat kontestasi-kontestasi yang kurang sehat juga bisa membawa kita kepada demokrasi dengan ruang interpretasi yang sangat sempit, yaitu demokrasi versi masing-masing, demokrasi yang sejalan dengan keberlanjutan kepentingan dan kebahagiaan sendiri-sendiri. Dan, kemudian dijadikan bahan racikan oleh aktor-aktor elite untuk terbebas dari tugas mulia mereka sebagai petinggi-petinggi negeri. Semoga tak demikian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.