JAKARTA, KOMPAS com - Surat Setya Novanto yang menunjuk Aziz Syamsuddin untuk menggantikan dirinya sebagai Ketua DPR RI bisa jadi mencoreng nama Aziz sendiri di mata publik.
Demikian diungkapkan pengamat politik dari Point Indonesia Arif Nurul Imam.
"Jika penunjukan Aziz Syamsuddin jadi ketua DPR RI cuma bermodalkan surat rekomendasi Setnov, ya bisa jadi sosok Azis dipersepsikan bonekanya Setnov," ujar Imam kepada Kompas.com melalui telepon, Senin (11/12/2017).
Hal tersebut tentunya bertolak belakang dengan keinginan mayoritas kader Partai Golkar untuk mengganti Setya Novanto, baik dari Ketua Umum Partai melalui Munaslub, atau dari kursi Ketua DPR RI.
Keputusan itu pun membuat Golkar menjadi semakin terlihat tidak solid di mata masyarakat.
"Kalau mau solid, seharusnya memang dibahas dulu oleh pengurus Golkar serta faksi-faksinya, siapa yang mau diusung sebagai Ketua DPR RI. Jika begini, selain dituding sebagai boneka Setnov, juga akan menimbulkan polemik di internal Golkar," ujar Imam.
(Baca juga : 50 Anggota Fraksi Golkar Tolak Aziz Syamsuddin Jadi Ketua DPR)
"Ikuti mekanisme partai yang ada, misalnya jika harus mengelar rapat pleno, ya taati aturan tersebut," lanjut dia.
Jika dituruti, surat rekomendasi Setnov tersebut pun berpotensi menjadi penghalang bagi partai berlambang pohon beringin untuk mendapatkan suara pada tahun politik 2018 dan 2019 yang akan datang.
Oleh sebab itu, saat ini penting bagi Golkar untuk mengangkat sosok pengganti Novanto sebagai Ketua DPR RI yang dapat diterima publik dan terutama seluruh faksi yang ada di Partai Gollar sendiri.
"Cari sosok yang jago berkomunikasi dengan kekuatan-kekuatan partai politik lainnya dan tak memiliki banyak musuh," ujar Imam.
Diberitakan, Ketua DPR yang kini meringkuk di Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setya Novanto, menunjuk Aziz Syamsuddin sebagai penggantinya memimpin parlemen.
Penunjukan itu disampaikan Novanto bersamaan dengan surat pengunduran dirinya yang dikirimkan kepada DPR dan Fraksi Golkar, beberapa waktu lalu.
Hal tersebut mengejutkan internal Golkar sebab dilakukan tanpa melalui rapat pleno Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar.