Sementara itu, yang sibuk berbicara masa depan "Partai Beringin" sampai hari ini adalah generasi-generasi yang kurang adaptif dengan pemilih milenial. Padahal, jika berkaca pada data di atas, memenangkan hati dan pikiran generasi milenial adalah juga memenangkan hati generasi setelahnya, seperti generasi Z.
Arti lainnya, menginklusi generasi muda adalah langkah strategis untuk meraup sebanyak-banyaknya suara pada kontestasi 2019.
Adapun milenial sendiri merupakan kelompok demografis (cohort) yang dikategorikan setelah generasi X karena lahir antara tahun 1981 dan 1999 (banyak juga yang menulis antara 1980-2000).
Selain berada di kisaran usia antara 17 dan 37 tahun saat ini atau masih terbilang muda dan cenderung sangat energetik, keakraban dengan teknologi membuat pemikiran mereka terbuka luas.
Oleh karena itu, wajah-wajah partai yang tak mampu berdandan sesuai harapan generasi ini akan serta-merta diberi tanda silang.
Walhasil, karena banyak partai yang gagal beradaptasi dengan selera segmen milenial, preferensi politik generasi ini terus menurun.
Gejala semacam ini bukan saja di Indonesia, tetapi juga di negara maju dan negara berkembang lain. Mereka cenderung menjadi apolitis dan memilih bidang-bidang di luar politik untuk berekpresi.
Secara politik, menurut hemat saya, kecenderungan semacam ini, pertama dan utama, adalah akibat dari gagalnya institusi-institusi demokrasi, terutama partai, untuk merepresentasikan dan menginklusi aspirasi mereka ke dalam gerak langkah partai politik.
Wajah-wajah partai gagal dipoles sesuai harapan generasi muda, sehingga penampakannya cenderung menyebalkan, mengguratkan banyak dosa, atau kurang ramah terhadap generasi-generasi setelahnya.
Secara historis, nomenklatur generasi milenial awalnya digagas oleh dua pakar sejarah dan penulis asal Amerika, yaitu William Strauss dan Neil Howe. Keduanya menuangkan konsep generasi milenial ke dalam beberapa bukunya. Bahkan studi tentang generasi milenial di dunia, terutama di Amerika, sudah cukup banyak dilakukan.
Di antaranya adalah studi yang dilakukan oleh Boston Consulting Group (BCG) bersama University of Berkley tahun 2011 yang mengambil tema American Millenials: Deciphering the Enigma Generation. Tahun sebelumnya, 2010, Pew Research Center juga merilis laporan riset dengan judul Millenials: A Portrait of Generation Next.
Poin utamanya, generasi milenial dan generasi setelahnya memang memiliki banyak perbedaan dengan generasi-generasi sebelumnya. Preferensi sektoral bergeser jauh ke ranah apolitis.
Harapan-harapan terhadap dunia politik meredup. Generasi muda mulai berpolitik dengan cara berbeda. Dunia digital menjadi sasaran utama, terutama media sosial.
Ekspresi politik mereka sangat inklusif, moderat, tetapi cenderung negatif terhadap partai politik dan institusi-institusi politik yang menjadi turunannya, seperti DPR. Nah, tak bisa tidak, inilah tugas berat Partai Golkar ke depan.
Siapa pun pemimpinnya, kubu mana pun yang menguasai "Beringin" nantinya, jangan jumawa di hadapan generasi muda. Jangan lupakan pemilih muda dan milenial karena mereka adalah pemilih jumbo yang bisa seketika menggemboskan kebesaran "Beringin" hanya dengan sekali masuk bilik suara.
Mumpung belum munaslub atau apa pun cara reorganisasi yang diambil, Golkar harus mulai berpikir tentang bagaimana cara mengaryakan generasi-generasi muda dalam partai.
Menempatkan anak muda-anak muda potensial di pos-pos strategis partai adalah jalan paling mudah.
Partai tidak bisa berbasa-basi mengatakan dirinya sebagai partai inklusif dan ramah terhadap generasi muda jika tidak melibatkan generasi muda dalam setiap derap regenerasi kepengurusan partai. Dan, Golkar harus berani memulainya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.