JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan perbuatan Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara, Nur Alam, bukan termasuk pidana lingkungan hidup.
Menurut jaksa, perbuatan Nur Alam dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Hal itu dikatakan jaksa KPK saat membaca surat tanggapan terhadap nota keberatan atau eksepsi yang disampaikan penasehat hukum Nur Alam di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (4/12/2017).
"Konsep hukum pidana mensyaratkan adanya niat pelaku melakukan kejahatan. Penegak hukum harus menemukan bukti niat jahat dan perbuatan jahat pelaku, yakni niat dan perbuatan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi," ujar jaksa Afni Carolina di Pengadilan Tipikor.
Menurut jaksa, surat dakwaan telah jelas mengurai perbuatan melawan hukum berupa tindak pidana korupsi yang dilakukan Nur Alam.
(Baca juga: Gubernur Sultra Nur Alam Juga Didakwa Terima Gratifikasi Rp 40 Miliar)
Kemudian, Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB).
Sebelumnya, dalam materi eksepsi, penasehat hukum menilai dugaan tindak pidana yang dilakukan kliennya lebih tepat menggunakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Menurut penasihat hukum, dugaan tindak pidana terkait penyalahgunaan wewenang penerbitan izin tambang mengacu pada Pasal 165 UU Minerba. Dengan demikian, perbuatan termasuk pidana administratif, bukan pidana korupsi.
(Baca: Pengacara Gubernur Sultra Anggap Pengadilan Tipikor Tak Berwenang Mengadili)
Namun, jaksa menilai UU Minerba tidak mengatur adanya kerugian negara akibat perbuatan melawan hukum dalam mengeluarkan izin pertambangan.
"Maka pidana korupsi yang didakwakan sudah sangat tepat, karena UU Tipikor berusaha mengembalikan kerugian negara. Kami harapkan penasehat hukum membantu terdakwa memahaminya," kata jaksa KPK.