JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terus mendalami dampak dari ditahannya Setya Novanto terhadap keberlangsungan kerjanya sebagai Ketua DPR RI.
Pada Kamis (30/11/2017) pekan lalu, MKD menyambangi Novanto di Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Anggota MKD Maman Imanulhaq mengungkapkan, pada kunjungan tersebut, Novanto mengakui bahwa ada beberapa dokumen yang memang hanya bisa ditandatangani oleh Ketua DPR.
Baca: MKD: Novanto Sadar Posisinya dan Akan Segera Bersikap
Hal itu akan dikonfirmasi MKD kepada Sekretariat Jenderal DPR dan pimpinan DPR.
"Ternyata, Beliau bilang ada. Lalu bagaimana caranya? Itu yang perlu kami konfirmasi kepada Kesetjenan dan juga pimpinan yang lain," ujar Maman, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/12/2017).
Maman mengatakan, MKD terus melakukan pendalaman terhadap Pasal 87 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, yakni seorang Pimpinan DPR berhenti karena beberapa kondisi, seperti meninggal dunia, mengundurkan diri, dan diberhentikan.
Adapun, alasan diberhentikan, menurut dia, bisa digunakan karena tak melaksanakan tugas DPR dan melakukan pelanggaran kode etik.
Selain itu, kata Maman, MKD berencana mengunjungi Novanto sekali lagi untuk menanyakan proses penangkapan dan apakah ada rekayasa dalam kasus kecelakaan yang dialaminya.
Baca: Setya Novanto Disebut Sudah Legawa Mundur dari Jabatan Ketua DPR
Namun, MKD mengaku belum mendapatkan izin dari KPK untuk kembali memeriksa Novanto.
"Karena kalau (kecelakaan) rekayasa, pelanggaran kode etik juga. Makanya, kami butuh pemeriksaan sekali lagi. Mudah-mudahan diizinkan KPK. KPK sangat sulit," kata Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.
Desakan agar Novanto mundur dari kursi Ketua DPR menguat setelah ia ditahan sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP di Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).