JAKARTA, KOMPAS.com - Hasil penelitian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial Yogyakarta (B2P3KS) bekerjasama dengan End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Childern for Sexual Purpose Indonesia menunjukan fakta yang menyedihkan tentang kekerasan seksual pada anak-anak.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyatakan, korban kekerasan seksual merupakan anak-anak berusia 5 sampai 17 tahun. Faktor utama kekerasan itu terjadi adalah pornografi.
"Faktor determinan yang mempengaruhi anak melakukan kekerasan seksual adalah pornografi (43 persen). Kedua, faktor pengaruh teman (33 persen). Ketiga faktor pengaruh narkoba/obat (11 persen). Keempat, pengaruh historis, pernah menjadi korban atau trauma masa kecil (10 persen) dan pengaruh keluarga (10 persen)," ujar Khofifah, Jumat (1/12/2017).
Khofifah menegaskan, sebenarnya negara telah memiliki instrumen demi mencegah tindakan kekerasan seksual sesama anak.
(Baca juga : Kebanyakan Anak Korban Kekerasan Seksual Berperangai Pendiam)
Dari sisi regulasi, ada UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Bahkan UU itu mengalami penyempurnaan sampai dua kali.
Selain itu, Kementerian Sosial juga memiliki panti rehabilitasi bagi anak yang mengalamai trauma akibat kekerasan seksual.
Namun demikian, segala instrumen ini tidak akan cukup jika kampanye antikekerasan seksual terhadap anak tidak diperluas dan diperdalam di tengah masyarakat, khususnya dalam keluarga inti.
"Dari hasil penelitian, 55 persen pelaku berasal dari keluarga utuh. Artinya ayah dan ibunya ada. Maka kedua orangtualah yang juga harus berperan maksimal dalam memberikan perlindungan. Misalnya, menanamkan pemahaman kepada anak bahwa mereka memiliki bagian intim yang tidak boleh disentuh oang lain, terutama orang yang tidak dikenal," ujar Khofifah.
(Baca juga : Khofifah Sebut 4 Faktor Ini Jadikan Anak Pelaku Kejahatan Seksual)
Khofifah juga menyoroti penggunaan internet pada anak. Sebab, internet merupakan salah satu 'gerbang' ke konten-konten pornografi.
"Pembatasan ini bisa disesuaikan dengan kesepakatan antara anak dengan orangtua dan dengan pengawalan orangtua. Misalnya, boleh mengakses internet namun dibatasi hanya tayangan anak, boleh pegang gawai pada jam tertentu. Misalnya setelah belajar atau setelah berhasil mengerjakan pekerjaan rumah dan tugas sekolah," ujar Khofifah.
Orangtua juga harus tidak kalah pintar dengan anak. Misalnya membatasi aplikasi yang boleh diunduh ponsel anak, yakni dengan memanfaatkan fitur pengunci aplikasi yang ada di setiap gawai.
"Intinya semua pihak harus turun tangan dengan penuh kesadaran untuk memberikan perlindungan kepada anak agar mereka tdak menjadi pelaku atau korban," ujar Khofifah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.