JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menunjuk hakim Kusno menjadi hakim tunggal dalam sidang praperadilan yang diajukan Setya Novanto.
Kusno saat ini menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Selatan.
"Benar, hakim Kusno," ujar Kepala Hubungan Masyarakat PN Jaksel Made Sutisna saat dikonfirmasi, Selasa (28/11/2017).
Menurut rencana, sidang perdana praperadilan akan digelar 30 November 2017.
Sebelumnya, hakim Kusno pernah menangani praperadilan yang diajukan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh.
Baca: PN Jaksel Gelar Sidang Perdana Praperadilan Novanto pada 30 November
Irfan mengajukan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terkait pembelian heli Agustawestland (AW) 101.
Dalam putusan, Kusno menolak praperadilan yang diajukan pemohon.
Namun, ada yang menarik dalam persidangan. Kusno berpendapat bahwa waktu penetapan tersangka tidak soal di awal, di tengah, atau di akhir penyidikan.
Waktu penetapan tersangka pernah dipersoalkan hakim Cepi Iskandar saat memimpin sidang praperadilan yang diajukan Novanto pada September 2017.
Baca juga: Hasil Penelusuran ICW Terkait Rekam Jejak Hakim Praperadilan Novanto
Saat itu, Cepi menilai, penetapan tersangka harus di akhir penyidikan, bukan di awal seperti yang dilakukan KPK.
Catatan ICW
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengingatkan KPK berhati-hati dalam menghadapi praperadilan yang diajukan Setya Novanto.
ICW menyoroti rekam jejak hakim tunggal Kusno yang akan mengadili praperadilan itu.
"Kami berpandangan bahwa dari sekian banyak rekam jejak yang dimiliki oleh yang bersangkutan, minim sekali keberpihakannya terhadap pemberantasan korupsi," kata aktivis ICW, Lalola Ester.
Baca juga: Pakar Hukum Nilai Ada Celah Setya Novanto Lolos Praperadilan
Menurut catatan ICW, hakim Kusno pernah membebaskan empat terdakwa korupsi saat menjabat hakim di Pengadilan Negeri Pontianak.
Kusno juga pernah memberikan vonis ringan 1 tahun penjara kepada Zulfadhli, anggota DPR, dalam perkara korupsi dana bantuan sosial Provinsi Kalimantan Barat tahun anggaran 2006-2008 yang diduga merugikan keuangan negara hingga Rp 15 miliar.