JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua DPP Partai Golkar Meutya Hafid mengatakan, partainya menjadikan hasil survei sebagai bahan evaluasi, terutama hasil survei yang menyebut turunnya elektabilitas.
Adapun, berdasarkan hasil survei Poltracking Indonesia pada 8-15 November 2017, elektabilitas Partai Golkar turun ke peringkat ketiga dengan hanya dengan mengantongi 10,9 persen. Sedangkan Gerindra merebut posisi kedua dengan 13,6 persen.
Hasil tersebut, kata Meutya, menjadikan Partai Golkar lebih berhati-hati dalam menentukan langkah seiring dengan dinamika internal yang tengah terjadi di partai.
"Karena Golkar memperhatikan suara rakyat, bagaimana elektabilitas kami, juga jadi evaluasi. Justru dengan evaluasi Golkar turun itu menjadi pegangan untuk prinsip kehati-hatian," kata Meutya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/11/2017).
(Baca juga: Banyak Faksi, Golkar Disarankan Gelar Munaslub untuk Redam Gejolak)
Dorongan agar Partai Golkar melakukan musyawarah nasional luar biasa (munaslub) telah disuarakan sejumlah pihak di internal partai.
Bahkan, Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid menilai munaslub perlu dilakukan untuk memilih kepemimpinan baru, apa pun hasil praperadilan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto.
Hal senada disuarakan secara lantang oleh sejumlah pimpinan DPD provinsi.
(Baca juga: Nurdin: Munaslub Golkar Tetap Digelar jika Novanto Menang Praperadilan)
Meski begitu, Meutya menilai munaslub yang digelar terlalu cepat belum tentu tak membawa dampak negatif bagi partai. Ia mengkhawatirkan perpecahan justru terjadi jika munaslub digelar sebelum partai dalam kondisi siap.
"(Publik) mem-bully Golkar itu juga menjadi pertimbangan kami," tutur Wakil Ketua Komisi I DPR itu.
(Baca juga: Banyak Faksi, Golkar Disarankan Gelar Munaslub untuk Redam Gejolak)
Ia menegaskan, partainya akan mencari waktu yang tepat untuk menentukan langkah yang akan diambil.
"Suasana kebatinan DPP termasuk ketua umum itu jadi pertimbangan kami," kata Meutya.
Ia menambahkan, saat ini Partai Golkar masih patuh pada rapat pleno pada 21 November 2017.
Pleno menetapkan Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Idrus Marham sebagai pelaksana tugas ketua umum. Sedangkan terkait posisi Novanto baik di Golkar maupun di DPR menunggu hasil praperadilan.
Adapun saat ini Novanto berstatus tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Setelah praperadilan diskusi itu terbuka kembali apakah akan ada munaslub ataukah ada pengembalian posisi jika Pak Novanto menang, itu masih terus menjadi diskusi," ujar Meutya.