Harapannya, masyarakat yang "berisik" terhadap pemimpin pada akhirnya akan melahirkan opini terhadap posisi pemimpin publik bahwa pemimpin publik itu amanah yang berat, dengan berbagai stereotip seperti "tidak enak", "tidak bahagia", "tidak membanggakan", "tidak bisa tidur", "serba salah", "tidak bisa istirahat", "diawasi terus-menerus".
Stereotip ini, menurut keyakinan saya, akan menyeleksi secara alamiah mana pemimpin yang berjiwa negarawan. Pemimpin yang selama ini kita rindukan. Pemimpin dengan semangat pengorbankan, bukan pemimpin yang justru mengorbankan (rakyatnya).
Dan, pemimpin yang akan berpikir berkali-kali untuk maju lagi untuk periode selanjutnya. Pemimpin yang seolah merasakan memegang bara api ditangannya ketika memimpin. Yang ada di pikirannya adalah bagaimana melepas bara api tersebut secepatnya.
Absennya stereotip ini akan mendorong oknum individu atau kelompok dengan berbagai cara dan mengganggap ringan tanggung jawab untuk memperebutkan kursi pimpinan sebagai kendaraan untuk mengeruk keuntungan pribadi dan atau kelompoknya. Inilah yang selama ini dianggap "wajar".
Namun, "berisik" terhadap pemimpin perlu ditempatkan pada konteks yang tepat. Berisik yang dimaksud adalah peduli tentang apa yang dilakukan terhadap kebijakan untuk pembangunan. Membangun dialektika terhadap isu pembangunan dan kepentingan masyarakat, sebagaimana jargon yang sering kali kita dengar: kritik, dukung, dan awasi.
Dialektika dibangun atas dasar data dan informasi yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan. Tantangan saat ini adalah ketika akan memulai proses dialektika, seringkali dibangun dari informasi dan data yang kurang memadai atau kebenarannya masih dipertanyakan, serta mengartikulasikannya melalui koridor konstitusional.
Berisik jika ditempatkan pada perdebatan personalitas perorangan atau kelompok, dan tidak ada hubungannya dengan tanggung jawab publik, maka tidak akan pernah selesai. Sebaliknya, menimbulkan benturan sosial yang kontraproduktif terhadap tujuan pembangunan.
Biarkan personalitas diselesaikan di ruang privasi setiap orang. Namun, ketika seseorang sudah memutuskan bekerja atau maju ke ruang publik sudah sewajarnya berlapang dada untuk diawasi, ditelusuri, dan diminta pertanggungjawabannya.
Di beberapa negara, misalnya di Belgia, berisik terhadap pemimpin publik (pemimpin terpilih atau birokrasi) sudah merupakan hal lumrah.
Salah satu istilah yang sering muncul di ruang diskusi kebijakan pembangunan adalah istilah pembayar pajak (tax payer). Istilah ini sering digunakan untuk mengganti kata ganti rakyat atau masyarakat.
Ketika istilah tax payer sudah digunakan, artinya apa yang telah diberikan oleh rakyat (pajak) harus dapat menjadi hal yang bermanfaat untuk rakyat, seefektif, dan seefisien mungkin.
Kemunculan istilah tersebut menjadi senjata ampuh dalam menuntut dan mengawasi pemerintah (pemimpin dan birokrasi) di dalam menjalankan amanah. Hal ini akan mempersempit ruang bagi pemimpin publik yang memiliki niat menyimpang.
Mari kita mulai untuk menjadi rakyat yang "berisik" terhadap pemimpin kita. Mari menjadikan posisi pemimpin publik di Indonesia sebagai suatu hal yang lebih "menantang" sehingga niscaya akan lahir pemimpin yang telah dapat melalui ujian publik. Pemimpin yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Pemimpin negarawan.
M Bobby Rahman
PhD Researcher At Department of Architecture, Planning and Development Unit, University of Leuven
Ketua PPI Belgia 2017-2018 (ppidunia.org)