JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Dewan Pimpinan Daerah Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi mendesak partainya segera melakukan pergantian Ketua Umum.
Menurut dia, Setya Novanto selaku Ketua Umum Partai Golkar saat ini sudah tidak bisa menjalankan tugasnya karena menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Harus ada pimpinan baru yang merepresentasikan semangat perubahan Partai Golkar," kata Dedi Mulyadi kepada Kompas.com, Minggu (9/11/2017).
Dedi mengatakan, pergantian posisi ketua umum ini bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, melalui forum rapat pimpinan nasional. Dalam forum itu bisa ditunjuk satu orang yang menjadi pelaksana tugas ketua umum Golkar.
Cara lain adalah dengan menyelenggarakan musyawarah nasional luar biasa yang merupakan forum tertinggi partai beringin. Di forum itu, kader Golkar bisa mencalonkan diri dan bersaing memperebutkan posisi ketua umum.
Baca juga: Dedi Mulyadi Serukan Langkah Penyelamatan Golkar
Menurut Dedi, saat ini kader Golkar terbelah antara dua opsi ini.
"Bagi saya dua-duanya bisa dilakukan, bisa rapimnas, bisa munaslub," ucap Bupati Purwakarta ini.
Dedi menyarankan, untuk menentukan opsi yang akan diambil, Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar bisa menggelar rembuk nasional terlebih dahulu.
Dalam rembuk tersebut, Golkar bisa mendengarkan saran dari para pakar hingga para senior dan sepuh partai. Hasil rembuk nasional itu pun kemudian bisa dibawa ke dalam rapat pleno DPP.
Baca juga: Dedi Mulyadi: Elektabilitas Partai Golkar di Jawa Barat Terus Menurun
"Dari pleno bisa diangkat ke forum lain apakah rapimnas atau munaslub," ucap Dedi.
KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka kasus e-KTP pada 10 November 2017. Dia lolos dari status tersangka dalam penetapan sebelumnya setelah memenangi gugatan praperadilan terhadap KPK.
Baca juga: Setya Novanto Tidur Terus, Mengorok Terus, Begitu Saja
Dalam kasus ini, Setya Novanto bersama sejumlah pihak diduga menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Dia juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar. Akibat perbuatannya bersama sejumlah pihak tersebut, negara diduga dirugikan Rp 2,3 triliun pada proyek Rp 5,9 triliun tersebut.