JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai, keputusan Ketua DPR Setya Novanto menghidari proses hukum di KPK justru akan menjadi bumerang.
"Melarikan diri itu bisa menjadi tindak pidana sendiri, menghalang-halangi penyidikan," ujarnya di Jakarta, Kamis (16/11/2017).
Bahkan, tutur Mahfud, upaya tidak kooperatif itu bisa berbuntut panjang. Jaksa bisa saja menuntut Novanto lebih berat di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) nantinya.
"Bisa menjadi faktor yang memberatkan di tuntutan, terserahlah yang penting tertangkap dulu," kata Mahfud.
(Baca juga : Beredar Kabar Novanto Akan Menyerahkan Diri, Ini Kata Ketua KPK)
Berbagai bukti petunjuk pun dinilainya sudah muncul di pengadilan.
Mahfud menyebutkan, mulai dari disebut-sebutnya nama Novanto, pemegang saham pemenang tender e-KTP ternyata keluarga Novanto, hingga perintah Novanto yang meminta pejabat Kementerian Dalam Negeri tidak mengenalnya.
"Itu semua muncul di pengadilan, itu bukti petunjuk," ucap pria yang lahir di Sampang, Madura, Jawa Timur, 13 Mei 1957 silam itu.
Baca juga : Hadiah Rp 10 Juta bagi Pemberi Info Keberadaan Novanto)
Ia meyakini KPK akan mampu menemukan Novanto. Apalagi Polri juga dinilai punya komitmen untuk membantu KPK.
KPK menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Novanto setelah yang bersangkutan berkali-kali tak memenuhi panggilan pemeriksaan.
Novanto tiga kali tak hadir dalam agenda pemeriksaan sebagai saksi kasus dugaan korupsi proyek e-KTP. Ia juga sekali tak hadir ketika dipanggil sebagai tersangka.
(Baca juga : JK: Novanto Harus Taat Hukum, kalau Lari Bagaimana Dia Bisa Dipercaya?)
Setelah surat perintah penangkapan terbit, petugas KPK kemudian mendatangi kediaman Novanto di Jalan Wijaya XIII, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Namun, petugas KPK tidak menemukan Novanto. Meski demikian, petugas KPK membawa sejumlah barang dari tempat tersebut.