JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar Akbar Tanjung mengkhawatirkan keberlangsungan partainya setelah Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto kembali ditetapkan sebagai tersangka untuk kedua kalinya.
Novanto beberapa hari lalu ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi proyek e-KTP oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Bukan saja prihatin, sedih, tapi juga sangat khawatir," kata Akbar saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/11/2017).
Akbar menambahkan, situasi Golkar saat ini menunjukkan tren penurunan perolehan suara. Berdasarkan hasil survei, suara Golkar terus menurun.
Menurutnya, suara Golkar sempat menyentuh 7 persen dan terus menurun.
(Baca juga: Pengurus Golkar Akui Ada Info Upaya Cabut BAP untuk Hapus Jejak Novanto)
Tren penurunan inilah yang membuat Akbar khawatir. Adapun ambang batas parlemen pada undang-undang pemilu adalah 4 persen.
"Kalau di bawah 4 persen boleh dikatakan, ya dalam bahasa saya, bisa terjadi kiamat di Partai Golkar ini," tuturnya.
Padahal, kata dia, Golkar selama ini selalu memiliki wakil di DPR dan suara Golkar dianggap cukup tinggi, terlebih pada era Orde Baru.
Saat itu, menurutnya, suara Golkar tak pernah di bawah 60 persen.
Terkait situasi tersebut, Akbar menilai perlu ada kesiapan seluruh pihak dan pemangku kepentingan di Golkar untuk siap melakukan perbaikan dan perubahan partai dari berbagai aspek.
(Baca juga: Kasus Menghalangi Penyidikan e-KTP, KPK Periksa Wakil Bendahara Golkar)
Tak terkecuali perubahan kepemimpinan tertinggi partai.
"Karena pemimpin ini juga yang akan menentukan keberhasilan partai, dan pemimpin juga akan bisa memengaruhi bagaimana opini publik terhadap partai," ujar mantan Ketua DPR RI itu.
Pada kasus korupsi proyek e-KTP, Novanto sudah ditetapkan sebagai tersangka untuk kedua kalinya oleh KPK.
Adapun penetapan tersangka yang pertama gugur karena Novanto memenangkan gugatan praperadilan.
Dalam kasus ini, Novanto disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat 1 Subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.