JAKARTA, KOMPAS.com - Tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-KTP Setya Novanto dan tim kuasa hukumnya terus melakukan manuver setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkannya sebagai tersangka.
Pada hari ini, Senin (13/11/2017), pengacara Novanto, Fredrich Yunadi mendatangi MK untuk mengajukan gugatan uji materi Pasal 46 ayat 1 dan 2 UU KPK.
KPK menggunakan pasal tesebut sebagai dasar pemanggilan pemeriksaan Setya Novanto dalam kasus e-KTP.
Menurut Fredrich, jika mengacu pada Pasal 20 A ayat 3 UUD 1945 dan Pasal 80 F UU MD3, anggota Dewan memiliki hak imunitas.
Baca: Tolak Diperiksa, Ini Isi Surat Setya Novanto kepada KPK
Pemanggilan anggota Dewan oleh KPK, kata dia, harus seizin Presiden. Menurutnya hal tersebut sesuai dengan putusan MK Nomer 76 Tahun 2014 tentang revisi Pasal 224 ayat 5 UU MD3.
Tanpa izin Presiden, maka pemanggilan pemeriksaan atas Setya Novanto oleh KPK dinilai mengesampingkan UUD 1945.
Kebijakan ini dinilai bertentangan dengan salah satu putusan MK.
"Putusan MK yang menyatakan wewenang Imigrasi untuk mencegah seseorang ke luar negeri bagi yang bersangkutan itu dinyatakan inkonstitusional," ujar Fredrich Yunadi, di Gedung MK, Jakarta, Senin.
Baca juga : Johannes Marliem Sempat Kesulitan Bayar Rp 100 Miliar untuk Setya Novanto
"Tetapi KPK kan masih ngotot dengan alasan dia itu punya wewenang penuh mengesampingkan segala undang-undang," lanjut dia.
Fredrich mengatakan, tidak mau lagi berdebat soal izin Presiden terkait pemanggilan kliennya oleh KPK atau pencekalan oleh Imigrasi.
Oleh karena itu, ia atas nama Setya Novanto mengajukan judicial review Pasal 46 ayat 1 dan 2 serta Pasal 12 UU KPK ke MK.