JAKARTA, KOMPAS.com - Partai politik bertanggung jawab mengingatkan kadernya yang ingin maju sebagai calon kepala daerah petahana untuk patuh pada Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Sebab, menurut Komisioner KPU Hasyim Asy'ari, tugas tersebut bukan hanya tugas KPU. Apalagi, undang-undang tersebut dibuat juga oleh anggota DPR yang merupakan kader-kader partai politik.
"Meski begitu KPU tetap menyelenggarakan diskusi dan sosialisasi untuk refreshing, penyegaran kembali bahwa ini aturan mainnya," kata Hasyim ditemui usai sidang di Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Jakarta, Rabu (8/11/2017).
Hasyim lebih jauh mengatakan, sosialisasi yang dilakukan KPU terus berjalan sesuai tahapan.
Misalnya, pada tahap pendaftaran, KPU menyampaikan syarat-syarat dan prosedur bagi calon kandidat yang maju di Pilkada.
Di samping melakukan sosialisasi saat tahap pendaftaran, KPU juga menyampaikan publikasi melalui website.
(Baca juga : KPU: Pada Dasarnya yang Namanya Pemilu itu Konflik..)
Sebelumnya Wakil Ketua Komisi II DPR RI Lukman Edy mengatakan, petahana yang maju dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan salah satu potensi konflik.
Oleh karena itu, agar tidak menjadi konflik aktual, maka DPR pun telah memberikan rambu-rambu khusus bagi petahana ini dalam Undang-Undang 10/2016.
"Petahana ini memiliki potensi besar membuat konflik yang ada di bawah," kata Lukman dalam diskusi di KPU, Jakarta, Selasa (7/11/2017).
Lukman berharap, agar petahana ini tidak menjadi sumber konflik dalam pilkada, maka sosialisasi Pasal 71 Undang-undang 10/2016 harus lebih gencar dilakukan KPU RI dan Bawaslu RI.
"Karena rambu-rambu yang kami buat itu berpotensi untuk multitafsir, dan berpotensi juga untuk dipakai oleh lawan-lawan petahana," kata dia.
Selain itu, Lukman juga berpendapat kalau perlu KPU RI maupun Bawaslu RI membuat peraturan internal guna menjelaskan lebih detil perihal Pasal 71 dalam Undang-undang 10/2016 ini.
Pasal 71 Ayat (2) melarang gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
Pasal 71 Ayat (3) melarang gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri, maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 71 Ayat (2) dan Pasal 71 Ayat (3) sebagaimana diatur dalam Pasal 71 Ayat (5), akan dikenakan sanksi berupa pembatalan petahana sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.