JAKARTA, KOMPAS.com — Kasus dugaan korupsi pada proyek pengadaan KTP elektronik telah sampai pada babak baru. Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan ada tersangka lagi dalam kasus ini.
Sebelumnya, ada enam orang yang terjerat kasus e-KTP. Mereka adalah mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman, mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Dirjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto, pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Ketua DPR Setya Novanto, anggota DPR Markus Nari, dan Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo.
Namun, Novanto belakangan lolos dari jerat kasus ini setelah memenangi praperadilan melawan KPK.
Kepastian soal adanya tersangka lagi di kasus e-KTP disampaikan Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Selasa (7/11/2017).
Baca juga: Pengacara: Ada Trik Menjerat Setya Novanto dan Keluarga Terlibat Korupsi E-KTP
Sayangnya, siapa tersangka baru itu, perannya apa saja, dan rincian lebih lanjut belum dapat disampaikan KPK.
KPK menyatakan akan menyampaikan secara lengkap pada konferensi pers dalam waktu dekat.
Alasan KPK belum mengumumkan langsung soal tersangka baru disebabkan pihak Humas KPK masih perlu berkoordinasi dengan penyidik soal waktu yang tepat.
"Terkadang ada kebutuhan kami, Humas, dan penyidik harus berkoordinasi lebih lanjut untuk mencari waktu tepat mengumumkan lebih lengkap," kata Febri.
SPDP bocor
Dengan adanya tersangka baru ini, KPK membenarkan telah menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru. Sprindik baru tersebut dikeluarkan pada akhir Oktober 2017.
Penyampaian adanya tersangka baru di kasus e-KTP itu berlangsung sehari setelah beredarnya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) yang tertulis atas nama Setya Novanto.
SPDP itu hingga kini belum diketahui asal-usulnya. KPK enggan menanggapi mengenai tudingan bahwa ada kesengajaan terkait beredarnya SPDP tersebut.
Baca juga : Kata KPK soal Dugaan Bocornya SPDP Setya Novanto
Dalam suatu perkara, KPK hanya menerbitkan satu lembar SPDP. Setelah SPDP tersebut keluar, KPK menyatakan tidak dapat mengontrol lagi.
"Tentu saja tidak bisa kontrol lagi surat tersebut," ujar Febri.