JAKARTA, KOMPAS.com - Ditundanya pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Antikorupsi (Densus Tipikor) oleh Presiden Joko Widodo didasarkan atas sejumlah alasan.
Pertama, pembentukan Densus Tipikor membutuhkan payung hukum berupa undang-undang. Sebab, tugas dan fungsi Densus melibatkan institusi penegak hukum lain, misalnya Kejaksaan dan Pengadilan.
"Dalam pelaksanaannya memang masih perlu suatu kajian yang lebih jauh lagi. Mengapa? Karena lembaga ini harus dikoordinasikan dengan kejaksaan. Bagaimana mengenai masalah penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan satu atap. Itu tentu butuh payung undang-undang," ujar Menkopolhukam Wiranto di Istana Presiden, Selasa (23/10/2017).
(Baca: Jokowi Tunda Rencana Pembentukan Densus Tipikor)
Sementara itu, untuk merumuskan sebuah undang-undang sendiri membutuhkan waktu yang lama karena mesti melalui tahap di kementerian terkait serta proses politik di DPR RI.
Kedua, pembentukan Densus Tipikor tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebagai lembaga baru, pembentukan Densus Tipikor mesti didahului dengan tahap usulan hingga persetujuan lembaga-lembaga penegak hukum yang sudah ada.
"Dari Menpan RB menyatakan bahwa masih cukup panjang prosesnya. Menpan RB harus menerima usulan dulu. Secara struktur kelembagaan dan kepegawaian juga harus ada persetujuan antara dua lembaga antara Polri dan Kejaksaan, baru ada usulan kepada Presiden," ujar Wiranto.
(Baca: Kapolri Tegaskan Pembentukan Densus Tipikor Bukan untuk Bubarkan KPK)
"Maka diputuskan bahwa pembentukan Densus Tipikor untuk sementara ditunda untuk kemudian dilakukan pendalaman lebih jauh lagi," lanjut dia.
Pengkajian rencana pembentukan Densus Tipikor, lanjut wiranto, diserahkan ke Kemenkopolhukam.
"Itu akan diserahkan kepada Menkopolhukam untuk mendalami lebih jauh lagi sehingga nanti pada saat yang tepat tentu kita akan ada penjelasan lagi mengenai hasil pendalaman itu," lanjut Wiranto.
Soal kapan waktu yang tepat itu sendiri, Wiranto belum bisa menjawabnya.