JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai bahwa ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum hanya menguntungkan posisi petahana, dalam hal ini Presiden Joko Widodo.
Menurut Feri, pasal tersebut memperkecil potensi persaingan bagi petahana dalam kompetisi pemilu.
"Ahli melihat kehadiran Pasal 222 Undang-Undang Pemilu lebih karena bicara rentannya menjadi petahana dan perlunya pengaturan kompetisi yanng kemudian menguntungkan petahana," ujar Feri saat memberikan keterangan ahli dalam sidang uji materiil UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (24/10/2017).
(Baca juga: Mantan Komisioner KPU Nilai "Presidential Threshold" Tak Penuhi Asas Keadilan)
Pasal 222 UU Pemilu menyatakan, pasangan calon Pemilu 2019 diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelumnya.
Ketentuan presidential threshold, kata Feri, telah memangkas hak setiap warga negara untuk dicalonkan sebagai calon presiden dan wakil presiden.
Sementara UUD 1945 menjamin hak seluruh warga negara untuk berpartisipasi dalam penyelenggaran pemerintahan.
Feri pun menyebut Pasal 27 Ayat 1 dan Pasal 28D Ayat 3 UUD 1945. Pasal 27 ayat 1 menyebut, seluruh warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan penerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa kecuali.
Pasal 28D Ayat 3 menyatakan, setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
"Ahli hendak menjelaskan bahwa kompetisi dalam pemilu yang diatur oleh konstitusi Indonesia adalah ketentuan yang penting dan harus ditaati oleh pembuat undang-undang," ucap Feri.
"Undang Undang Dasar 1945 membuka ruang bagi seluruh warga negara indonesia untuk dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan," kata dia.
Dalam kesempatan yang sama, pihak pemohon uji materiil, Effendi Gazali mengatakan, ketentuan presidential threshold dirancang untuk mengatur agar petahana menghadapi jumlah lawan sedikit mungkin.
(Baca juga: Effendi Ghazali Ajukan Uji Materi soal "Presidential Threshold")
Hal tersebut, menurut dia, telah melanggar prinsip-prinsip demokrasi.
"Periode selanjutnya, agar mengatur sedikit mungkin lawan yang kuat atau sudah memetakan lawan yang akan membuatnya menang. Ini yang dalam konteks Indonesia kami namakan 'Teori Demokrasi Indonesia Minimalis'. Tampaknya demokratis tapi sebenarnya sudah mendesain lawan seminimal mungkin," kata Effendi.