Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komnas HAM: Sesat atau Tidak Sesat, Itu Bukan Urusan Negara

Kompas.com - 23/10/2017, 17:16 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM Jayadi Damanik meminta Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir kontitusional terhadap seluruh pasal dalam Undang-undang No. 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Menurut Jayadi, implementasi dari UU tersebut kerap menimbulkan peraturan di daerah dan tindakan diskriminatif terhadap kelompok agama minoritas, khususnya warga Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Dengan demikian, tafsir MK harus menyatakan bahwa ketentuan dalam PNPS tidak boleh meniadakan hak untuk menganut agama atau keyakinan lain yang telah ada aktif menjalankan kehidupan keagamannya.

Hal itu disampaikan Jayadi saat memberikan keterangan ahli dalam sidang uji materi atas UU No. 1 PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (23/10/2017).

"Agar pelanggaran HAM komunitas Ahmadiyah ini tidak berlanjut, demikian pula agar pelanggaran HAM komunitas minoritas lainnya juga tidak berlanjut, maka ketentuan dalam undang-undang itu haruslah dicegah untuk tidak multi-tafsir, dengan cara Mahkamah Konstitusi memberi tafsir konstitusional bersyarat," ujar Jayadi.

Berdasarkan catatan Komnas HAM, saat ini lima provinsi telah mengeluarkan regulasi berupa peraturan gubernur atau surat edaran gubernur yang melarang penyebaran ajaran Ahmadiyah.

Selain itu, ada pula 22 kabupatan/kota yang menerbitkan peraturan serupa. Seluruh regulasi tersebut merujuk kepada UU No. 1 PNPS 1965.

"Sesat atau tidak sesat itu seharusnya bukan urusan negara," kata Jayadi.

Jayadi menjelaskan, undang-undang No. 1/PNPS tahun 1965 termasuk peraturan yang tergolong represif dan multitafsir.

Sebab, peraturan tersebut memberikan privilege dalam melindungi kepentingan kelompok mayoritas.

Kelompok agama mayoritas, kata Jayadi, bisa menafsirkan PNPS itu sebagai dasar hukum untuk meniadakan hak menganut aliran agama atau keyakinan minoritas yang dianggap sesat.

"Di sinilah letak multitafsir yang saya maksudkan, sehingga undang-undang a quo secara tidak sengaja telah mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/atau mencabut HAM kelompok minoritas, oleh karena itu melanggar HAM," ucap Jayadi.

Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim MK Arief Hidayat tersebut hadir perwakilan JAI sebagai saksi dari pihak pemohon dan perwakilan Dewan Dakwah Indonesia sebagai pihak terkait.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Penetapan Prabowo-Gibran Hari Ini, Ganjar: Saya Belum Dapat Undangan

Penetapan Prabowo-Gibran Hari Ini, Ganjar: Saya Belum Dapat Undangan

Nasional
Prabowo-Gibran Sah Jadi Presiden dan Wapres Terpilih, Bakal Dilantik 20 Oktober 2024

Prabowo-Gibran Sah Jadi Presiden dan Wapres Terpilih, Bakal Dilantik 20 Oktober 2024

Nasional
[POPULER NASIONAL] Para Ketum Parpol Kumpul di Rumah Mega | 'Dissenting Opinion' Putusan Sengketa Pilpres Jadi Sejarah

[POPULER NASIONAL] Para Ketum Parpol Kumpul di Rumah Mega | "Dissenting Opinion" Putusan Sengketa Pilpres Jadi Sejarah

Nasional
Sejarah Hari Bhakti Pemasyarakatan 27 April

Sejarah Hari Bhakti Pemasyarakatan 27 April

Nasional
Tanggal 26 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 26 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Golkar Ungkap Faktor Keadilan Jadi Rumusan Prabowo Bentuk Komposisi Kabinet

Golkar Ungkap Faktor Keadilan Jadi Rumusan Prabowo Bentuk Komposisi Kabinet

Nasional
Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

Nasional
Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

Nasional
PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

Nasional
Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

Nasional
Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Nasional
Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Nasional
PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

Nasional
Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

Nasional
Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com