JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki bukti bahwa konsorsium pelaksana proyek pengadaan e-KTP khawatir ada partai politik yang mempersulit proses pembahasan anggaran.
Hal itu terungkap dalam persidangan dengan terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/10/2017). Jaksa menghadirkan mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), Isnu Edhi Wijaya.
Dalam persidangan, jaksa Abdul Basir mengonfirmasi salah satu barang bukti yang disita KPK. Bukti tersebut berupa dokumen berisi catatan manajemen risiko dalam pekerjaan proyek e-KTP.
"Barang bukti surat tertanggal 5 Oktober 2011, dengan tanda tangan Isnu Edhi Wijaya, tentang sepuluh risiko dalam proyek," ujar jaksa Abdul Basir di Pengadilan Tipikor.
(Baca: Beralasan Sakit, Anas Urbaningrum Batal Bersaksi dalam Sidang E-KTP)
Menurut Basir, dalam poin ketiga surat tersebut, ditulis bahwa resiko yang dimaksud adalah resiko politik.
Konsorsium PNRI khawatir pembahasan dan pencairan anggaran akan dipersulit oleh anggota DPR RI.
Menurut Konsorsium PNRI, hambatan soal anggaran bisa disebabkan oleh partai politik. Untuk mengantisipasi hal itu, dalam surat tersebut dijelaskan bahwa konsorsium harus membangun komunikasi secara proaktif dengan DPR.
Namun, saat dikonfirmasi, Isnu mengatakan bahwa ia tidak dapat mengingat surat yang terdapat tanda tangannya itu.
(Baca: Terima 40.000 Dollar AS, Ketua Panitia Pengadaan E-KTP Mengaku Stres)
"Saya tidak ingat. Mungkin itu surat kami buat laporan ke dewan pengawas," kata Isnu.
Dalam kasus ini, Andi Narogong didakwa telah merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun dalam proyek e-KTP. Menurut jaksa, Andi diduga terlibat dalam pemberian suap terkait proses penganggaran proyek e-KTP di DPR RI, untuk tahun anggaran 2011-2013.
Selain itu, Andi berperan dalam mengarahkan dan memenangkan Konsorsium PNRI menjadi pelaksana proyek pengadaan e-KTP. Andi diduga mengatur pengadaan dalam proyek e-KTP bersama-sama dengan Setya Novanto.